Jakarta, Aktual.com — Rumah menurut ajaran Islam dan rumah bersumber dari Al Quran yaitu sebagai sumber ketenangan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang artinya :”Allah SWT menjadikan untuk kamu rumah-rumah kamu sebagai tempat ketenangan.” (QS. An-Nahl: 80).
Namun, ada sebuah kebiasaan dan mendarah daging di beberapa tempat di Indonesia yaitu, masyarakat memiliki mitos sebaiknya rumah tidak menghadap ke timur atau ke barat, tapi menghadap ke selatan atau ke utara.
Mereka berkeyakinan, jika rumah itu menghadap ke timur atau barat akan terjadi dengan apa yang diistilahkan dengan bahasa jawa “ora becik, seret rejekine” yaitu tidak bagus dan sulit rezekinya.
Dan ada pula adat sebagian penduduk setelah menaikkan kayu atas rumah atau istilah Jawa (wuwungan), mereka memberi sesajen berupa seikat gabah, setandan pisang, selembar kain (merah-putih) dan lain sebagainya dengan anggapan hal tersebut akan memberi barakah sebuah rumah atau sebagai penghormatan terhadap penunggu desa tersebut . Benarkah perbuatan ini menurut syariat Islam?
“Mengenai rumah seharusnya tidak menghadap barat atau timur, Hal tersebut bukan merupakan keyakinan yang benar, melainkan khurafat dan kerjaan para dukun yang sedang menawarkan dagangan mereka untuk mencari uang. Adapun ditinjau dari kaca mata syariat, hal itu menyelisihi ajaran Islam yang mengajarkan pemeluknya untuk meyakini bahwasanya hanya Allah SWT satu-satu Dzat yang mampu untuk memberi manfaat dan menolak mudharat kepada hamba-Nya. Begitu pula masalah rezeki dan lain sebagainya,” jelas Ustad Muhamad Ghozali, MA, kepada Aktual.com, di Jakarta, Rabu (16/03).
Masih dari Ustad Ghozali, demikian juga hal tersebut seakan-akan mereka mengetahui hal yang ghaib (tersembunyi), karena keyakinan mereka bahwasanya posisi rumah yang demikian akan menyulitkan datangnya rezeki atau yang lainnya, dimana tidak ada yang mengetahui hal yang ghaib kecuali Allah SWT saja. Allah SWT berfirman,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُهُمْ وَلا يَضُرُّهُمْ وَكَانَ الْكَافِرُ عَلَى رَبِّهِ ظَهِيرًا
Artinya, “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak memberi manfaat kepada mereka dan tidak (pula) memberi mudharat kepada mereka. adalah orang-orang kafir itu penolong (syaitan untuk berbuat durhaka) terhadap Rabbnya.”(Al-Furqan : 55)
Dan Allah SWT juga berfirman,
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ
Artinya, “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.”(Ali-Imran : 128)
Menurut ia, Rasulullah SAW saja ditiadakan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib. Lantas bagaimana dengan yang lainnya? Allah SWT berfirman dan memerintahkan kepada Rasulullah SAW,
قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ
Artinya, “Katakanlah, “tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.”(An-Naml: 65)
“Dan mengenai sesajen juga bukan dari tuntunan agama Islam, karena dalam agama Islam tidak mengajarkan hal-hal tersebut. Kalau seandainya hal itu benar, tentunya sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, supaya dicontoh oleh umatnya. Sebenarnya ini adalah budaya-budaya non Muslim yang diserap oleh kaum muslimin yang jauh dari agamanya, lalu mereka mengikutinya, dan kemudian oleh sebagian para dukun dibumbui dengan perkara-perkara mistis untuk menakut-nakuti seorang Muslim yang imannya lemah, sehingga terjatuhlah mereka dalam kesyirikan,” terang Ustad Ghozali menambahkan.
Selain itu, disebutkan dalam Hadis bahwa makanan saudara kita dari bangsa jin adalah tulang–belulang yang disebut padanya nama Allah SWT ketika menyembelih, bukan seperti yang mereka sangka dan mereka lakukan itu dengan mempersembahkan sesajen-sesajen kepada para syaitan. Karena ini adalah perbuatan syirik yang diharamkan dalam agama Islam. Dari Abdullah bin Mas’ud a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
قَدِمَ وَفْدُ الْجِنِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا : يَا مُحَمَّدُ انْهَ أُمَّتَكَ أَنْ يَسْتَنْجُوا بِعَظْمٍ أَوْ رَوْثَةٍ أَوْ حُمَمَةٍ ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ لَنَا فِيهَا رِزْقًا. قَالَ فَنَهَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم
Artinya, “Datang utusan dari jin kepada Rasulullah SAW lalu berkata, “Wahai Muhammad ! laranglah umatmu dari beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan tulang dan kotoran hewan atau arang kayu (dan sesuatu yang telah terbakar dari kayu atau tulang) karena Allah SWT menjadikannya rejeki (makanan) untuk kami.” Lalu berkata (Abdullah Ibnu Mas’ud), “Maka Nabi n melarangnya.”(HR. Abu Dawud, Baihaqi)
عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ مَسْعُودٍ هَلْ صَحِبَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْجِنِّ مِنْكُمْ أَحَدٌ فَقَالَ مَا صَحِبَهُ مِنَّا أَحَدٌ وَلَكِنَّا قَدْ فَقَدْنَاهُ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقُلْنَا اغْتِيلَ اسْتُطِيرَ مَا فَعَلَ قَالَ فَبِتْنَا بِشَرِّ لَيْلَةٍ بَاتَ بِهَا قَوْمٌ فَلَمَّا كَانَ فِي وَجْهِ الصُّبْحِ أَوْ قَالَ فِي السَّحَرِ إِذَا نَحْنُ بِهِ يَجِيءُ مِنْ قِبَلِ حِرَاءَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَكَرُوا الَّذِي كَانُوا فِيهِ فَقَالَ إِنَّهُ أَتَانِي دَاعِي الْجِنِّ فَأَتَيْتُهُمْ فَقَرَأْتُ عَلَيْهِمْ قَالَ فَانْطَلَقَ بِنَا فَأَرَانِي آثَارَهُمْ وَآثَارَ نِيرَانِهِمْ قَالَ قَالَ ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ عَامِرٌ فَسَأَلُوهُ لَيْلَتَئِذٍ الزَّادَ وَكَانُوا مِنْ جِنِّ الْجَزِيرَةِ فَقَالَ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ يَقَعُ فِي أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا كَانَ عَلَيْهِ لَحْمًا وَكُلُّ بَعْرَةٍ أَوْ رَوْثَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ فَلَا تَسْتَنْجُوا بِهِمَا فَإِنَّهُمَا زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنْ الْجِنِّ
Artinya, “Dari Alqomah a berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud, apakah ada dari kalian yang menemani Rasulullah SAW pada malam jin (pembacaan Al Quran kepada jin), dia menjawab, “Tidak menemaninya seseorang dari kami, akan tetapi kami kehilangan beliau pada suatu malam, kami pun berseru, “Beliau hilang dan lenyap, apa yang beliau kerjakan ?” maka kami pun tidur dengan sejelek-jelek malam, yang bermalam padanya suatu kaum. Ketika pagi hari tiba atau pada waktu sahur, serentak beliau mendatangi kami dari arah Gua Hira. Kami berseru, “Ya Rasulullah !“ Lalu menyebutkan kisah mereka. Lantas beliau menjawab, “Mendatangiku da’i dari jin, lalu aku pun menemui mereka dan menbacakan untuk mereka Al Quran.” Kemudian beliau mengajak kami dan menunjukkan bekas-bekas mereka dan bekas api mereka. Berkata Ibnu Abi Zaidah dari ‘Amir, “Mereka meminta Rasulullah bekal dan mereka para jin dari Jazirah.” Lalu beliau berkata, “Untuk kalian setiap tulang yang disebut padanya nama Allah, (tulang tersebut) akan penuh dengan daging apabila sudah ditangan kalian, dan setiap kotoran hewan itu akan menjadi makanan untuk hewan kalian. Maka janganlah kalian beristinja’ dengan keduanya karena keduanya itu adalah bekal untuk saudara kalian dari para jin.”(HR. Ahmad, Baihaqi)
“Dengan demikian, masihkah kita sebagai seorang muslim percaya dengan hal-hal tersebut yang tidak jelas asal muasalnya dan dari mana datangnya, melainkan hanya ucapan, ‘Katanya dan katanya, atau kata orang tua dulu.’ Jika di suruh memilih lebih mengikuti ajaran tua orang mereka atau Rasulullah SAW?,” pungkasnya. Bersambung…..
Artikel ini ditulis oleh: