Jakarta, Aktual.com – Agama Islam sudah menetapkan aturan-aturan yang penting bagi muslimah untuk dilaksanakan dalam berbagai hal. Salah satu aturan itu adalah, bagaimana Islam memandang sosok muslimah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang pantas dilakukan berdasarkan kitab suci Al-Qur’an, hadis, maupun fatwa ulama, agar menjadi pedoman.

Secara kodrati, pernahkah kita menyadari bahwa peran muslimah sejatinya lebih dibutuhkan sebagai sosok pendamping suami di rumah dan dalam proses tumbuh kembang anak. Sehingga, keberadaannya sangat dibutuhkan, lantaran sosok ibu yang merupakan madrasah pertama bagi anak-anak. Berikut ulasannya oleh Aktual.com bersama Ustadzah Pujiyanti Fauziyah, Rabu (2/9).

Perlu disadari, sebelum kita memaknai peran muslimah itu sendiri. Sejatinya, fitrahnya laki-laki adalah qawwam atau pemimpin bagi muslimah, sebagaimana dalam firman-Nya yang berbunyi,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ
اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيرًا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang salehah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa: 34)

Dalam konteks ini, ada tiga pendapat dari para ulama serta cendekiawan yang mencakup pembahasan perihal wanita karier. Pertama, mereka yang membolehkan wanita bekerja tanpa syarat apapun. Kedua, tidak membolehkan sama sekali, dan ketiga, membolehkan tapi dengan syarat-syarat tertentu.

Seperti dikutip dari Kitab al-Mawsu’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, menurut ulama dan cendekiawan asal Mesir, Sayid Qutb, dikatakan bahwa ajaran Islam lebih dekat dengan pandangan yang terakhir. “Sebab, tidak ada larangan dalam Islam,” ujar dia.

Islam, lanjutnya, membolehkan wanita bekerja di bidang yang digelutinya dengan menyadari kodratnya sebagai muslimah. “Yakni kodrat biologis dan mentalnya.”

Melalui penjelasan itu, dapat kita ketahui bahwa Islam sama sekali tidak pernah memposisikan wanita hanya untuk berdiam diri atau menganggur, di rumah saja, seperti yang disampaikan oleh beberapa kalangan.

Kendati demikian, bagi muslimah yang bekerja, penting untuk mempertimbangkan tiga hal berikut ini, yakni faktor kelemahan fisik wanita, tugas alamiahnya, serta etika yang harus ditaati. Memaknai lebih dalam, disampaikan oleh Dr Abd al-Qadr Manshur, bahwa dengan kemampuan fisik yang terbatas tidak seperti kaum lelaki, wanita disarankan agar tidak melakukan pekerjaan berat ataupun yang mengandung resiko.

Dengan demikian, kondisi ini tidak dimaksudkan untuk menghalangi atau membatasi peran wanita. Pasalnya, hal itu terkait pula dengan kodrat tugas wanita, seperti melahirkan, menyusui dan menjaga keluarga, sehingga perlu ada keterkaitan dengan kesibukannya di luar rumah.

Kemudian, penting untuk diperhatikan aspek etika muslimah pada saat bekerja. Hal ini penting untuk mengatur batasan hubungan antara laki-laki dan wanita. Dalam Islam sendiri memiliki istilah untuk situasi ini yang dikenal dengan hukum ikthilath atau berbaurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tertentu. Sehingga, ketentuan bekerja ini pun bagi muslimah ini bisa bernilai haram, bisa mubah.

Tentunya, situasi ini akan bernilai haram jika mengandung tiga hal. Yaitu, berduaan antara laki-laki dan wanita, terbukanya aurat wanita, serta ada interaksi fisik atau persentuhan anggota badan antara laki-laki dan wanita. Namun demikian, hukum haram ini tidak berlaku untuk mereka yang berprofesi sebagai dokter.

Jadi, dalam Islam sendiri tidak ada larangan bagi kaum muslimah untuk bekerja. Bahkan, banyak hadis dan pandangan ulama yang dapat dijadikan tuntunan dalam melakukan aktivitas yang bermanfaat di luar rumah guna mengisi waktu dan menambah wawasan ilmu, tapi tentu saja harus disertai dengan izin suami, tuturnya.

Artikel ini ditulis oleh: