Penjual dan Pembeli Melakukan Transaksi Digital

Jakarta, Aktual.com – Bank Indonesia (BI) akan meluncurkan Payment ID, suatu sistem identitas keuangan digital yang akan merekam dan memantau semua jenis transaksi keuangan masyarakat secara real-time, dan lintas platform. Rencananya, BI mulai melakukan uji coba penerapan Payment ID bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI ke-80, 17 Agustus 2025.

Melalui Payment ID setiap warga negara akan diberi kode unik (unique identifier) berjumlah sembilan karakter. Kode ini hasil dari kombinasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan ID keuangan. Nomor ini akan menjadi identitas tunggal masyarakat dalam setiap aktivitas finansial dan terhubung dengan NIK, face recognition (sistem pengenalan wajah), serta biometrik.

Dengan nomor ini, semua riwayat transaksi keuangan orang per orang di rekening bank, dompet digital, kartu kredit, pembayaran daring (e-banking, QRIS, NFC), pinjaman daring, hingga urusan belasting (pajak, bea, dan cukai) akan tercatat. Termasuk, nominal, waktu, lokasi, dan pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.

Dengan menerapkan Payment ID, BI dapat mengetahui profil keuangan tiap individu secara menyeluruh dan real-time, seperti berapa pendapatan, pengeluaran, dan beban utang atau investasi yang dimilikinya.

Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, Payment ID merupakan bagian dari implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (SBPI) 2025-2030 yang bertujuan menciptakan transparansi total dalam ekosistem keuangan nasional. BSPI ini berisi poin pengembangan transaksi digital di antaranya modernisasi infrastruktur ritel.

“Yang lebih penting dari infrastruktur adalah data. Perlu kita keluarkan Payment ID, ID untuk setiap transaksi pembayaran, jadi setiap orang dalam melakukan transaksi ada Payment ID,” kata Perry saat meluncurkan BSPI 2030 dalam agenda Festival Ekonomi dan Keuangan Digital (FEKDI) x Karya Kreatif Indonesia (KKI) di Senayan, Jakarta, Jumat (2/8/2024).

Menurutnya, Payment ID penting untuk menjadi dasar dalam kebijakan-kebijakan baru yang dilakukan oleh BI. “Kenapa itu penting? Karena untuk juga bagaimana capturing data, dan data ini untuk payment info, sehingga bisa di-trace jejak digitalnya, termasuk fraud detection system,” terangnya.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Dicky Kartikoyono menyampaikan, saat ini Payment ID masih dalam tahap uji coba. Di tahap awal, Payment ID akan diterapkan untuk membantu meningkatkan akurasi rekening penerima bantuan sosial.

“Saat ini Payment ID masih dalam tahap uji coba/eksperimentasi untuk dapat digunakan pada satu use case tertentu saja, yaitu membantu akurasi penyaluran bantuan sosial nontunai, yang akan dimulai prosesnya di 17 Agustus,” kata Dicky.

Dicky menjelaskan, proses pengembangan sistem dan infrastruktur data Payment ID akan membutuhkan waktu beberapa tahun ke depan.

Implementasi Payment ID secara nasional sendiri ditargetkan berlangsung secara penuh pada 2029, setelah seluruh tahapan eksperimen, penyesuaian regulasi, dan penguatan infrastruktur selesai.

Menurut BI, adanya Payment ID berguna untuk keperluan tata kelola keuangan digital yang terintegrasi secara terpusat. Salah satunya adalah sebagai pengukur target kebijakan fiskal seperti bantuan sosial (bansos) dan optimalisasi penerimaan pajak.

Selain itu, kode unik ini juga dapat digunakan dalam proses pemberian kredit karena dapat membuat lembaga keuangan mengetahui profil nasabah secara lebih akurat.

Untuk keperluan pemberian kredit, misalnya, lembaga keuangan atau pihak ketiga akan meminta data keuangan calon ke BI melalui sistem Infrastructure Exchange Application (IAEA).

Kemudian, BI akan mengirimkan notifikasi kepada pemilik data guna meminta persetujuan membagikan data keuangannya ke pihak pemohon.

Jika disetujui, data keuangan yang terekam dalam Payment ID seperti riwayat transaksi (payment history) dan profil keuangan calon nasabah, akan dibagikan kepada lembaga pemohon.

Melalui data yang dikirimkan oleh BI tersebut, lembaga keuangan dapat mengetahui profil nasabah secara lebih akurat dan mengecek apakah calon nasabah, misalnya, memiliki riwayat kredit macet atau tidak.

Dicky menegaskan akses terhadap Payment ID akan sangat terbatas dan hanya dapat digunakan oleh otoritas yang berwenang, berdasarkan persetujuan pemilik data (private consent based) sesuai ketentuan yang berlaku.

Dicky memastikan, pengembangan dan penggunaan Payment ID sepenuhnya tunduk pada prinsip kerahasiaan data pribadi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

“Pengembangan dan penggunaan data Payment ID dilindungi dan tunduk sepenuhnya pada kerahasiaan data individu sebagaimana diatur dalam UU PDP,” ujar dia.

Payment ID Bisa Perkuat Model Penilaian Skor Kredit

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengamini bahwa Payment ID akan sangat bermanfaat bagi pengembangan sistem keuangan Indonesia. Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK Hasan Fawzi mengatakan, pemanfaatan Payment ID mendorong evolusi pengembangan model credit scoring di Indonesia.

“Kami memandang kebijakan pemanfaatan Payment ID yang tertuang dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2030 ini tentu memiliki implikasi yang signifikan terhadap evolusi pengembangan dari model credit scoring di Indonesia,” kata Hasan dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner OJK Bulanan Juli 2025 di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, Payment ID akan dikembangkan secara bertahap, dengan tahap pertama melalui pendekatan BI-led dengan target implementasi pada 2027. Pada milestone berikutnya, Payment ID akan dikembangkan melalui pendekatan integrated dengan target implementasi pada 2029.

Menurut Hasan, beberapa pengaruh atas implementasi kebijakan penggunaan Payment ID, diantaranya dapat meningkatkan granularitas data. Ini memungkinkan perolehan data detail dari profil seseorang atau lembaga yang berpotensi menjadi penerima kredit, serta dapat menciptakan model prediktif yang lebih baik dan komprehensif, sehingga dapat meningkatkan akurasi dalam menilai risiko kredit.

“Kami di OJK akan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia mengenai bagaimana teknis dari implementasi kebijakan mengenai Payment ID,” ujarnya.

Ia meyakini kebijakan Payment ID akan memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi sistem informasi kredit di Indonesia ke depannya. Dengan data yang tersedia lebih lengkap dan lebih akurat, lembaga keuangan di Indonesia diharapkan dapat terus membuat keputusan-keputusan penyaluran kredit yang lebih baik, dan dapat mendorong inklusi keuangan sekaligus memperkuat stabilitas sistem keuangan ke depan.

“Dan pada akhirnya tentu kita harapkan akan berkontribusi secara lebih maksimal terhadap pertumbuhan perekonomian nasional ke depan,” tuturnya.

Payment ID akan dikembangkan sebagai unique identifier untuk mengoptimalkan data granular. Pemanfaatannya mencakup tiga fungsi, yakni sebagai kunci identifikasi untuk membentuk data profil pelaku sistem pembayaran, sebagai kunci otentikasi data dalam pemrosesan transaksi, sebagai kunci unik dalam proses agregasi antara data profil individu dengan data transaksional yang granular.

Rawan Disalahgunakan

Penerapan Payment ID dinilai perlu memperhatikan berbagai aspek keamanan. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyampaikan, kebijakan tersebut perlu dilakukan dengan hati-hati.

“Wacana BI akan menerapkan sistem Payment ID ini digadang-gadang sebagai upaya besar menuju efisiensi, transparansi, dan keamanan dalam sistem keuangan nasional. Namun, sebagaimana api yang bisa menghangatkan sekaligus membakar, sistem Payment ID berbasis NIK ini juga menyimpan potensi masalah yang tidak bisa dianggap remeh,” kata Achmad dalam keterangannya, dikutip Jumat (8/8/2025).

Achmad menekankan permasalahan yang mungkin muncul berkaitan dengan infrastruktur keamanan data dan perlindungan hak-hak digital warga negara. Ia tidak memungkiri bahwa gagasan Payment ID berangkat dari niat baik untuk menata lalu lintas transaksi keuangan agar lebih efisien dan memudahkan pengawasan.

Dalam dunia yang semakin digital, data memang menjadi tulang punggung ekonomi dan tata kelola negara. Namun demikian, diperlukan kesiapan infrastruktur, perlindungan hukum, dan etika pengelolaan data.

Ia mengkhawatirkan, sejarah telah menunjukkan data pribadi WNI pernah bocor baik dari aplikasi, operator telekomunikasi, atau serangan siber. Payment ID nantinya akan menyimpan rekam jejak transaksi keuangan setiap individu dalam satu pintu, sehingga risiko kebocoran tidak boleh sampai terjadi.

Menurut Achmad, data menjadi mata uang baru dalam peradaban digital. Menurut laporan Kementerian Kominfo, sejak 2019 hingga 2023 terdapat lebih dari 100 juta data WNI yang bocor ke luar negeri melalui berbagai insiden siber. Di sisi lain, survei Lembaga Riset Siber menemukan 72 persen masyarakat urban merasa khawatir data pribadinya disalahgunakan pemerintah atau pihak swasta.

Meski demikian, Achmad menilai memang dengan adanya sistem Ppayment ID, pengawasan tindak pidana keuangan akan lebih efektif dan proses know your customer (KYC) di bank dan fintech menjadi lebih singkat, sehingga kebijakan fiskal dan moneter bisa lebih tepat sasaran.

Tetapi Indonesia juga dinilai perlu berkaca dari kasus-kasus yang terjadi di berbagai negara. Misalnya di India dengan Aadhaar dan China dengan social credit system memperlihatkan sisi gelap dari integrasi data.

Di India, lebih dari 1 miliar data biometrik bocor pada 2018 karena lemahnya perlindungan data. Di China, skor sosial yang terintegrasi dengan data transaksi keuangan seringkali digunakan untuk mengontrol perilaku warga, bahkan membatasi akses ke transportasi publik atau layanan kesehatan.

“Di Indonesia, potensi abuse of power juga nyata,” katanya.

Achmad menegaskan, perlindungan data mutlak harus terjamin sebelum implementasi integrasi data keuangan. Sehingga, jika memang ingin mengimplementasikan sistem anyar tersebut, seharusnya regulasi mengenai perlindungan data diperkuat dulu.

Achmad menyebut, Eropa dengan General Data Protection Regulation (GDPR) memberikan contoh bagus. Setiap institusi yang lalai melindungi data warga bisa didenda miliaran euro. Hak untuk dilupakan (right to be forgotten) dijamin, dan akses data harus dilaporkan secara transparan.

Menurutnya, Indonesia baru memiliki UU Perlindungan Data Pribadi yang belum sepenuhnya diterapkan secara efektif. Bahkan, sanksi bagi kebocoran data kerap tidak ditegakkan maksimal, baik untuk swasta maupun pemerintah.

Jika Payment ID diterapkan sebelum regulasi matang, Achmad menilai nantinya hanya menambah risiko baru tanpa solusi nyata bagi perlindungan hak digital rakyat. Ia menekankan agar BI tidak tergesa-gesa menerapkan sistem tersebut.

“Sebagai ekonom dan pakar kebijakan publik, saya menilai Payment ID berbasis NIK adalah gagasan progresif, namun terlalu berisiko jika diterapkan tanpa pondasi regulasi dan infrastruktur keamanan yang handal,” kata dia.

Di samping itu, edukasi dan sosialisasi publik juga sangat penting agar masyarakat memahami hak-haknya atas data pribadi, serta cara melindungi diri dari potensi penyalahgunaan.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi