Jakarta, Aktual.co —Sebenarnya kalau pemerintahan Jokowi-JK punya visi yang strategis dan punya kebijakan politik luar negeri yang terintegrasi dengan kebijakan strategis bidang ekonomi – berpaling ke Cina sesungguhnya merupakan pertimbangan yang cukup strategis. Jurnalis Australia Geoff Hiscock dalam bukunya yang cukup menarik dan menggugah bertajuk Earth Wars: Pertempuran memperebutkan sumber daya global, mengabarkan, Cina saat ini punya cadangan devisa 3 triliun dolar AS. Dan 1 triliun di antaranya akan diinvestasikan dalam bentuk aset di luar negeri.

Jika rencana ini benar-benar dilakukan, berarti termasuk Indonesia termasuk salah satu negara yang dialokasikan untuk jadi sasaran investasi dalam 5 sampai 10 tahun mendatang. Masalahnya adalah, apakah pemerintahan Jokowi-JK cukup memahami konstalasi global sehingga memahami betul nilai strategis Cina di abad 21 ini, dan bagaimana membangun kerjasama strategis yang setara dan saling menguntungkan.

Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia, Cina amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka, yang membentang 800 km (500 mil) di antara pulau Sumatera Indonesia dan Semenanjung Melayu dan menyempit hanya 2,4 km (1,5 mil) lebarnya di Selat Singapura, yang mengarah ke Laut Cina Selatan.

Cina seperti halnya juga dengan Amerika, Rusia, Jepang dan India, menyadari betul bahwa saat ini sekitar 70 persen dari perdagangan dunia bergerak melintasi Samudera Hindia antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Dan seperempat perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka.

Melalui gambaran ini saja, pemerintahan Jokowi-JK seharusnya sudah bisa membuat semacam roadmap dan scenario yang cukup strategis sebagai panduan untuk membangun kerjasama strategis dengan Cina. Betapa Cina menyadari betul nilai strategis beberapa wilayah territorial Indonesia yang melewati jalur Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.
Apalagi tren global saat ini mengindikasikan betapa ambisi teritorial dan sengketa perbatasan antar negara seperti yang sudah terbukti melalui serangkaian sengketa perbatasan antara Cina versus beberapa negara ASEAN, nampaknya dalam beberapa tahun ke depan bakal semakin intensif, menyusul semakin intensifnya kekuatan-kekuatan besar memperebutkan cadangan migas potensial di zona lepas pantai.

Menurut riset yang diolah oleh tim Aktual, pertumbuhan rata-rata Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Cina selama 7 tahun dari 2004 hingga 2010 adalah 11,0 persen. Yang berarti, ukuran ekonominya berlipat dua selama kurun waktu itu.

Nah, sebagai konsekwensi dari pertumbuhan yang cepat selama dua dekade terakhir itulah, maka Cina sekarang mengonsumsi lebih banyak energi, menjual lebih banyak mobil, dan menghasilkan lebih banyak baja daripada Amerika Serikat.

Cina menggunakan lebih banyak bijih besi, tembaga, timah, seng, alumunium, kromium, tungsten, titanium, dan unsur tanah langka dibandingkan bangsa lain manapun.

Dalam proyeksi tim riset Aktual, pada 2020 diprediksi jaringan rel kereta api berkecepatan tinggi, bahkan setelah kemunduran pada pertengahan 2011, mungkin akan mencapai 16.000 km (10.000 mil), melesatkan orang dan barang yang bernilai tinggi pada kecepatan 320 km/jam di antara setiap kota besar Cina. Pembangunan jaringan raksasa itu dan kereta yang berjalan di atasnya membutuhkan sejumlah besar bahan baku, termasuk baja.

Bisa dimengerti jika kemajuan pesat Cina yang dimulai sejak era Deng Xioping pada 1979, mulai mengundang ketakutan dari negara-negara barat. Pada 2011, Bank berskala global HSBC yang kita tahu berada dalam kendali Inggris dari belakang layar, dan merupakan merger dua cabang bank yang berbasis di Hongkong dan Shanghai, mengeluarkan laporan berjudul The World in 2050. Melalui laporan tersebut disimpulkan bahwa pada 2050 negara-negara berkembang-termasuk Cina dan India, akan melipatgandakan outputnya lima kali dan akan lebih besar daripada output negara-negara maju.

Sekitar 19 dari 30 negara dengan produk domestik bruto terbesar adalah negara yang saat ini disebut sebagai
negara berkembang. Cina dan India akan menjadi negara terbesar di bidang ekonomi, bahkan ketiga terbesar, disusul oleh Amerika di nomor 2, Jepang, yang kemudian diikuti oleh Inggris, Brazil, Meksiko, Perancis, dan Kanada di 10 besar.

Prediksi ini, meski dalam lingkup geopolitik, sempat dikumandangkan oleh pakar politik Amerika Dr Samuel Huntington, dalam bukunya the Clash of Civilization. Meski secara rinci tidak tergambar secara ekonomi, namun pada intinya memandang Cina bakal muncul sebagai kekuatan adidaya baru mengimbangi Amerika dan beberapa negara maju di Eropa Barat.

Senada dengan prediksi Huntington yang bukunya pertama kali dirilis pada 1994, laporan HSBC juga memperkirakan bahwa “kemajuan substansial” negara-negara berkembang tersebut akan disusul oleh sejumlah negara berkembang lainnya seperti Indonesia, Turki, Mesir, Malaysia, Thailand, Kolombia, dan Venezuela.

Kembali ke soal Cina. Dengan cadangan devisa yang diduga mencapai 3 triliun dollar Amerika Serikat berdasarkan data 2011, maka Cina saat ini punya uang untuk membeli hampir apapun yang mereka mau.

Pertaruhan Cina di Laut Cina Selatan

Tak pelak lagi, di tengah perekonomian Cina yang semakin digdaya saat ini, Laut Cina Selatan dipandang Beijing sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, terutama untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Cina. Apalagi Cina menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di dunia melewati perairan Laut Cina Selatan. Maka itu tak heran jika Cina saat ini terlibat sejumlah sengketa perbatasan terutama Spartly(Nansha) dan Paracel(Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Adapun di kawasan utara, di Laut Cina Timur, Cina bersengketa dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku (yang di Cina dikenal sebagai Diaoyutai).

Sengketa perbatasan Cina dengan Vietnam, bisa jadi merupakan salah satu faktor pemantik (triggering factor) berkobarnya perang terbuka antara Cina dan Amerika Serikat dalam beberapa waktu ke depan. Mengingat fakta bahwa saat ini Vietnam secara aspiratif berbagi ketakutan yang sama dengan beberapa negara ASEAN yang merupakan sekutu tradisional AS seperti Filipina, Malaysia dan Brunei.

Sebuah editorial koran Cina Global Times edisi 21 Juni 2011 kiranya perlu disimak secara seksama: “Vietnam telah melakukan tindakan beresiko di Laut Cina Selatan untuk sekian lama. Mereka telah menduduki 29 pulau Cina. Mereka telah mendapatkan manfaat terbanyak dari eksploitasi gas alam dan minyak bawah laut. Mereka juga yang paling agresif menghadapi Cina. Cina telah mengirimkan pesan yang jelas bahwa kami akan mengambil tindakan apapun yang diperlukan untuk melindungi kepentingan-kepentingan kami di Laut Cina Selatan. Jika Vietnam terus memprovokasi Cina di wilayah ini, Cina pertama akan menghadapinya dengan kekuatan polisi laut, dan jika perlu, menyerang balik dengankekuatan angkatan laut. “

Jika prediksi harian Cina Global Times ini kelak terbukti benar, nampaknya estimasi yang pernah dilontarkan Samuel Huntington bahwa konflik bersenjata antara Cina dan Vietnam, bakal mengobarkan perang berskala global antara negara-negara yang yang bersekutu dengan AS versus negara-negara yang bersekutu dengan Cina, kiranya cukup beralasan.

Sebab pada 1979, Cina pernah menginvasi Vietnam menyusul tergusurnya rezim Khemer Merah pimpinan Pol Pot yang didukung Cina. Meski invasi Cina ke Vietnam hanya sebulan, namun telah menghancurkan secara signifikan sendi infrastruktur di Vietnam bagian utara. Namun sejatinya, sasaran sesungguhnya Cina waktu itu adalah penguasaan Pulau Paracel yang terletak di sebelah timur Vietnam dan selatan Pulau Hainan. Singkat cerita, sengketa perbatasan Cina dengan Vietnam atas Spratly dan Paracel tetap berlanjut.

Pertaruhan Cina di Laut Cina Selatan nampaknya memang cukup besar. Terbukti pada 2011, Cina telah mengumumkan akan meningkatkan secara substansial pasukan paramiliter pemantau lautnya yang berpatroli di perairan Laut Cina Selatan. Bahkan dalam proyeksi di 2020, Cina berencana akan memiliki lebih dari 500 kapal dan 15.000 personel petugas-jauh lebih banyak daripada Amerika Serikat, yang saat ini juga semakin memperkuat kehadiran militernya di Darwin, Australia, untuk mengontrol perairan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka.

Cina Semakin Memperkuat Matra Laut

Pada tataran ini, meski tak terkait langsung soal kerjasama ekonomi Indonesia-Cina, namun aspek ini baiknya dicermati betul oleh pemerintahan Jokowi-JK. Sebab kalau tidak, Indonesia bisa masuk perangkap Cina lewat scenario kerjasama ekonomi. Dalam doktrin Alfred Mahan, ditegaskan bahwa “ Barang Siapa Menguasai Lautan Hindia, maka maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”.

Agaknya, doktrin sea power ini dihayati betul maknanya oleh para perancang kebijakan strategis pertahanan nasional Cina. Terbukti melalui paparan sebelumnya maupun perkembangan terkini, Cina semakin meningkatkan kapasitas angkatan lautnya, dibandingkan matra-matra laut lainnya.

Saat ini saja, The People’s Liberation Army Navy (PLAN) —-sebutan AL Cina— relatif dapat diandalkan. Berdasarkan penelusuran pustaka oleh penulis, terungkap PLAN punya 250.000 tentara terdiri atas 35.000 orang pada Coastal Defense Force (Pasukan Pertahanan Lepas Pantai), sedang infantry marinir berjumlah 56.000 personel. Belum lagi 56.000 personel Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara Angkatan Laut), dan lain-lain. Bukan itu saja. Kepemilikan kapal selam oleh PLAN pun cukup fantastis. Ia telah memiliki 100 unit kapal selam dimana sebelumnya hanya 35 unit. Sedang kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20 menjadi 100 buah. Luar biasa. Pengembangkan postur angkatan laut Cina memang tidak main-main.

Sekitar dekade 2008-an lalu, anggaran pertahanan sebesar 60 miliar USD dan diprakirakan banyak pihak, bahwa enam – tujuh tahun ke depan akan meningkat dua kali lipat. Sehingga era 2015-an mendatang, Cina diyakini memiliki anggaran militer sekitar 120 miliar USD atau bahkan lebih. Sudah barang tentu, fakta-fakta ini mencemaskan Barat terutama Amerika (AS) dan sekutu, apalagi kelompok negara dan beberapa anasir pemain global yang mempercayai ramalan “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”-nya Samuel P Huntington, bahwa akan meletus perang terbuka AS versus Cina dan melibatkan polarisasi baru antara AS + Uni Eropa melawan Cina + Kelompok Negara Islam.

Ketika perayaan ulang tahun PLAN ke-60 yang lalu, ia sengaja pamer kekuatan (show fo force) kepada publik global atas kekuatan AL-nya. Cina mengeluarkan berbagai jenis kapal, seperti kapal selam misalnya, atau kapal penghancur, frigate, dll termasuk kapal yang memiliki fasilitas rumah sakit. Hal ini merupakan bukti bahwa transformasi sea power di Cina berjalan gemilang. Bahkan Negeri Tirai Bambu sudah mulai menitikberatkan modernisasi angkatan lautnya di bidang teknologi dan informasi.

Pengembangan dan pembesaran PLAN kemungkinan besar dilatar-belakangi selain kian memanasnya suhu politik di Laut Cina antara Paman Mao sendiri melawan beberapa negara di sekitar perairannya dengan tajuk ‘sengketa perbatasan’ — akan tetapi yang utama ialah penguatan “String of Pearls”. Inilah strategi handal Cina di perairan Laut Cina Selatan dalam rangka mengamankan energy security (ketahanan dan jaminan pasokan energi) termasuk mengawal hilir mudik ekspor-impornya di berbagai negara melalui perairan.

Sudahkah geostrategi Indonesia mengantisipasi trend politik global di perairan tersebut? Menurut penulis, sebelum berurusan soal Poros Maritim dan Tol Laut, kenali dulu agenda strategis Cina abad 21. Poros Maritim Dunia (Tol Laut) sejatinya merupakan implementasi sea power dalam lingkup terbatas, ia akan menjadi program super dahsyat di kawasan Asia Pasifik bila bangsa ini telah meraih dan menggenggam dulu TRISAKTI-nya Bung Karno (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat dalam berkebudayaan), atau paling minimal —bila ‘mendesak’ di bangun Tol Laut— terlebih dulu Indonesia harus memiliki pola pengamanan (dan pengawasan) yang handal, profesional, sinergis, dan canggih terhadap titik-titik strategis di wilayah perairan.

Jika kita gali lebih dalam, Tol Laut cenderung bahkan mungkin berpotensi menimbulkan ‘bencana geopolitik’ bagi negara ini jika pembangunan infrastruktur, sistem keamanan laut, dll diserahkan kepada asing sebagaimana usul Susi Pujiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Bila semua dilimpahkan ke asing, niscaya sistem dan mekanisme di pelabuhan-pelabuhan dalam kendali mereka. Kapal-kapal kita akan menjadi tamu di negeri sendiri. Kapan boleh merapat atau tidak, tergantung si pemegang sistem. Ketika Bu Susi hendak memberi kewenangan pemberantasan illegal fishing kepada Paman Sam, bukankah itu bermakna bahwa prosedur dan mekanisme pengamanan laut pun di bawah kontrol asing pula?

Lengkaplah sudah, jika pembangunan infrastruktur (dan otomatis sistemnya) diserahkan kepada asing termasuk proses penegakkan hukumnya, maka tinggal menunggu waktu kapan perairan NKRI yang kaya sumberdaya ini diakuisisi.

Sebagaimana isyarat di prolog tulisan ini, bahwa program dan kebijakan yang berdimensi strategis, namun tidak dibarengi pengetahuan tentang anatomi permasalahan, tanpa basis mendalam soal geopolitik, motif-motif terselubung suatu negara seperti Cina yang kebetulan saat ini jadi target utama pemerintahan Jokowi-JK untuk menjalin kerjasama ekonomi, dan tidak ada kajian tentang mana kebutuhan (agenda) prioritas bangsa, pada perkembangannya kebijakan tadi malah menimbulkan masalah baru yang lebih besar dan kompleks. Pada akhirnya pemerintah justru menjadi bagian dari masalah, bukan bagian solusi bangsanya.

Inilah paradoks politik luar negeri Indonesia. Selalu membuat keputusan untuk menjalin kerjasama luar negeri dengan negara asing, tapi tidak dipandu oleh pemahaman dan pengertian ihwal apa sesungguhnya kepentingan nasional kita yang nyata.

Sehingga ketika kita menjalin kerjasama luar negeri dengan beberapa negara asing, kita selalu menjadi satelit negara-negara tersebut, ketimbang membangun sebuah kerjasama strategis yang setara dan saling menguntungkan.

Ketika Bung Karno pada 1955 menggalang kerjasama strategis dengan negara-negara Asia-Afrika yang diikat oleh sebuah tema: Anti Imperialisme dan Anti Kolonialisme, maka Indonesia kemudian punya posisi tawar yang kuat dan setara ketika Cina dan Rusia mengajak kerjasama membangun persekutuan strategis. Meski Cina dan Rusia punya kepentingan untuk menggalang sekutu melawan Amerika dan sekutu-sekutunya di Eropa Barat dalam kerangka Perang Dingin, namun Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam Konferensi Asia-Afrika, juga diuntungkan dengan mendapatkan dukungan strategis dari dua negara adidaya Cina dan Rusia, yang sama-sama melawan Amerika dan Eropa Barat. Karena dalam pandangan Indonesia dan negara-negara yang tegabung dalam KAA, Amerika dan Eropa Barat merupakan sumber imperliasme dan kolonoliasme di pelbagai belahan dunia.

Agaknya, para penyusun dan pembuat kebijakan luar negeri RI, harus lebih imajinatif dalam menjabarkan Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif sesuai dinamika dan tantangan global saat ini.

Oleh: Redaktur Senior Aktual, Hendrajit