Ruang debat Parlemen Eropa atau "hemicycle", di Strasbourg
Ruang debat Parlemen Eropa atau "hemicycle", di Strasbourg

Jakarta,Aktual.com. Kalangan pro kemerdekaan di Aceh dan Papua kekuatan politik dan militernya saat ini sebenarnya sudah tidak terlalu mengkhawatirkan. Namun gerakan dan kiprahnya di fora internasional untuk meng-internasionalisasikan Aceh dan Papua melalui jalur-jalur diplomasi nampaknya perlu dicermati oleh para pemangku kepentingan politik-keamanan di Jakarta.

Pada 14 Juni 2016 di Brussels-Belgia, Parlemen Eropa telah menggelar sebuah konferensi internasional membahas Hak-Hak Minoritas dan Kerjasama Regional di Asia Tenggara.
Nampaknya, pagelaran yang diselenggarakan oleh Parlemen Eropa itu disambut oleh beberapa kalangan pro kemerdekaan Aceh sebagai momentum yang bisa dimanfaatkan untuk menghidupkan terus gerakan meng-internasionalisasikan Aceh Merdeka. Ketua Presidium Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF), Ariffadhillah masuk dalam jajaran peserta konferensi.

Menurut keterangan yang berhasil kami himpun, Arif yang bermukim di Jerman itu, tercatat sebagai analis kimia di Eisenach, Jerman. Selain dirinya, dalam delegasi ASNLF yang dipimpinnya juga akan ikut bergabung perwakilan ASNLF dari Swedia dan Belanda. Tak pelak hal ini menggambarkan bahwa jaringan ASNLF setidaknya cukup terorganisasi di Eropa. Melalui kehadiran Arif dan kawan-kawannya di konferensi tersebut, ASNLF membahas dan membeberkan pelanggaran HAM beserta kekebalan hukum militer yang terjadi di Indonesia. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Arif pada awal Juni lalu.

Ada satu aspek penting yang perlu jadi catatan dari konferensi internasional tersebut. Fakta bahwa acara tersebut terselenggara berkat kerja sama Organisasi Bangsa dan Rakyat yang tak Terwakili (UNPO), Taiwan Foundation for Democracy (TFD), Haella Foundation dan lobi politikus asal Estonia, Urmas Paet yang juga tercatat sebagai anggota parlemen Uni Eropa.

Namun yang patut dicermati adalah bahwa melalui penyelenggaraan konferensi internasional itu, Parlemen Eropa nampak jelas sangat memfasilitasi acara tersebut. Konferensi tersebut berlangsung di ruang PHS7C050 gedung parlemen Uni Eropa.
Bagi kita di Indonesia kiranya sudah sepatutnya membaca tren ini berpotensi untuk tetap menghidupkan terus gerakan separatisme di Aceh.

Apalagi melalui konferensi ini, akan dijadikan forum untuk mempresentasikan sebuah tinjauan umum mengenai keadaan minoritas di Asia Tenggara. Sehingga dalam kerangka tema besar tersebut, gerakan pro kemerdekaan Aceh akan memasukkan agenda kemerdekaan Aceh dengan menggunakan isu pelanggaran hak-hak asasi manusia di Aceh sebagai alasan pembenaran untuk menghidupkan terus gerakan meng-internasionalisasikan gerakan pro kemerdekaan Aceh di forum internasional. Dan Parlemen Eropa terkesan sangat mendukung sekali gerakan-gerakan separatisme di beberapa negara di Asia Tenggara yang disamarkan melalui tema Hak-Hak Minoritas dan Kerjasama Regional di Asia Tenggara.

Apalagi ketika Ketua Presidium ASNLF berencana mempresentasikan makalah tentang lemahnya penyelesaian HAM melalui perjanjian MoU Helsinki yang tidak ada hasilnya sama sekali meskipun sudah satu dekade lamanya. Untuk alternatifnya, ketua presidium ASNLF itu akan memberikan solusi dengan menyerukan komunitas internasional untuk menghormati tuntutan rakyat Aceh untuk keadilan dan penentuan nasib sendiri.

Jika ini benar, berarti gerakan ASNLF meng-internasionalisasikan isu Aceh merdeka memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah dengan menggunakan isu keadilan dan hak penentuan nasib sendiri, atau the right to self determination sebagai pintu masuk.

Maka itu keputusan Parlemen Eropa untuk membolehkan keikutsertaan pihak ASLNF maupun Organisasi Papua Merdeka(OPM) pada konferensi internasional Parlemen Eropa di Belgia jelas telah mempertunjukkan itikad yang tidak baik terhadap pemerintah Indonesia sebagai pihak yang sepenuhnya berdaulat atas Aceh maupun Papua hingga sekarang.

Apalagi fakta mempertunjukkan bahwa baik ASLNF maupun OPM adalah organisasi ilegal yang dilarang di Indonesia, sehingga upaya parlemen Eropa mengundang mereka sama dengan upaya merusak hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Bahkan ditinjau dari sudut pandang MoU Helsinki sekalipun, manuver ASNLF tetap dipandang sebagai upaya untuk menggagalkan perdamaian di Aceh. Sebab dengan telah ditandatanganinya Mou Helsinki, permasalahan konflik atau perselisihan antara Indonesia dengan GAM sudah dianggap final atau kedua belah pihak sudah menyatakan islah.

Manuver ASNLF justru bisa dinilai untuk mementahkan kembali kesepakatan Helsinki.
Karena itu pemerintah Indonesia, khususnya KBRI di Jerman dan Belgia, secara khusus perlu memonitor secara intensif Organisasi Bangsa dan Rakyat yang tak Terwakili (UNPO), Taiwan Foundation for Democracy (TFD), Haella Foundation dan lobi politikus asal Estonia, Urmas Paet, karena keempat unsur tersebut jelas-jelas mempunyai itikad yang tidak baik kepada Indonesia.

 

(Hendrajit)

Artikel ini ditulis oleh:

Hendrajit