Parlemen Iran telah memberikan suara bulat untuk menutup Selat Hormuz, namun keputusan akhir akan dibuat oleh Dewan Keamanan Nasional dan pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei. Selat Hormuz merupakan jalur pelayaran ”maha penting” untuk pengangkutan sekitar 30 persen minyak bumi dari Timur Tengah ke seluruh dunia.
Dilansir dari Azer News, pada Minggu (22/6) parlemen Iran secara bulat memutuskan penutupan Selat Hormuz. Namun keputusan akhir akan dikeluarkan Dewan Keamanan Nasional Iran dan pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei.
Sebelumnya, Kementerian Pertahanan Iran mengindikasikan bahwa penutupan selat itu merupakan suatu kemungkinan. Perlu dicatat bahwa Selat Hormuz adalah jalur air sempit yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Pada titik tersempitnya, selat ini lebarnya sekitar 21 mil, dengan dua jalur pelayaran selebar dua mil di setiap arah.
Selama Perang Iran-Irak, 1980-1988, Iran menargetkan kapal tanker minyak dan fasilitas pemuatan minyak dengan ranjau dan rudal, termasuk rudal jelajah Silkworm buatan China, dan menggunakan speedboat untuk mengganggu kapal tanker. Tindakan Iran itu tidak sepenuhnya memblokir selat tersebut, tetapi menyebabkan kenaikan tajam dalam premi asuransi pengiriman dan keterlambatan lalu lintas maritim.
Sementara itu, perkembangan terakhir pada Senin (23/6), Parlemen Iran bertekad untuk meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan menangguhkan kerja sama Iran dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA/International Atomic Energy Agency). Hal itu disampaikan Ketua Parlemen Iran Dr. Mohammad Bagher Ghalibaf.
”Kami di parlemen Iran bermaksud meloloskan rancangan undang-undang yang akan menangguhkan kerja sama dengan IAEA sampai kami menerima jaminan transparan mengenai perilaku professional,” tegas Ghalibaf.
Bukan hanya itu, Parlemen Iran saat ini sedang meninjau penarikan diri Iran dari Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT/The Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons). Hal ini disampaikan anggota parlemen Iran, Ali Keshvari yang mengatakan kepada IRNA Iran: ”Parlemen saat ini sedang meninjau kerangka hukum untuk penarikan Iran dari NPT dan untuk memberlakukan pembatasan di Selat Hormuz.”
Rencana keluarnya Iran dari IAEA maupun perjanjian NPT sangat beralasan. Ada perlakukan yang tidak adil bagi Iran, yakni Israel yang diperkirakan memiliki lebih dari 200 hulu ledak nuklir, namun tidak pernah menandatangani NPT dan tidak pernah tunduk pada IAEA. Bahkan Israel tidak pernah secara resmi mengakui kepemilikan senjata nuklir.
Sedangkan Iran, yang telah menandatangani NPT dan tunduk pada inspeksi IAEA. Namun, Iran dihadapkan pada kecurigaan internasional terkait program nuklirnya, yang menyebabkan tekanan untuk membatasi pengembangan nuklirnya. Bahkan yang terjadi justru serangan Israel dan AS terhadap berbagai reaktor nuklir Iran, dan lokasi-lokasi lainnya.
Analisis Selat Hormuz dan Dampak Penutupannya
Berikut ini analisis tentang seberapa vitalnya Selat Hormuz, seperti dikutip dari akun X Geo Insider @InsiderGeo, yang merupakan akun khusus untuk berita geopolitik & militer dari seluruh dunia.
Selat Hormuz merupakan titik persimpangan maritim paling kritis di dunia, karena menghubungkan Teluk Persia dengan perairan terbuka, yang lebarnya hanya 21 mil pada titik tersempitnya. Selain itu sepertiga minyak dunia yang diangkut melalui laut mengalir melalui wilayah ini, serta digunakan oleh lebih dari 30 persen ekspor LNG secara global.
Setiap hari sekitar 17 juta barel minyak melewati Selat Hormuz. Volume sebanyak itu melebihi kapasitas produksi harian Amerika Serikat dan Rusia; dan setengah dari total ekspor minyak negara-negara yang tergabung dalam OPEC, dan 20 persen dari total konsumsi minyak global.
Kontrol terhadap Selat Hormuz dibagi antara Iran di utara, Uni Emirat Arab (UEA)dan Oman di selatan, sedangkan jalur pelayaran utamanya adalah perairan internasional yang lebarnya hanya 2 sampai 3 mil di setiap arah.
Iran juga mengendalikan 3 pulau utama di selat tersebut, yakni Pulau Tunb Besar, Pulau Tunb Kecil, dan Pulau Abu Musa. Semua pulau itu oleh Iran dipersenjatai dengan peluncur rudal dan kehadiran Angkatan Laut Garda Revolusi (IRGC) Iran. Pulau-pulau ini juga merupakan titik peluncuran untuk kapal serang cepat, ranjau, atau rudal. Untuk diketahui, UEA juga memiliki klaim atas pulau-pulau ini sehingga masih bersengketa dengan Iran.
Untuk mengurangi risiko tabrakan, kapal-kapal mengikuti Skema Pemisahan Lalu Lintas (TSS) melalui Selat Hormuz. Untuk kapal yang masuk berada di jalur 2 mil, dan untuk kapal yang berangkat berada di jalur 2 mil lainnya. Antara kedua jalur itu dipisahkan oleh batas penyangga selebar 2 mil (median), dan semua berada di perairan internasional namun batasnya sangat sempit.
Namun ancaman Iran menutup selat tersebut bukanlah hal baru tetapi selalu serius. Karena mereka telah lama mengatakan bahwa jika minyak Iran tidak dapat diekspor, minyak siapa pun tidak akan bisa diekspor. Maka setiap saat, pasar memperhatikan.
Iran tidak bisa begitu saja menutup selat, namun, hal itu dapat sangat mengganggu hingga membekukan lalu lintas komersial atau menaikkan biaya asuransi. Bagaimana cara gangguan itu ? Militer Iran menyebar ranjau laut, kapal tanker bergerombol dengan kapal cepat, Iran meluncurkan rudal anti kapal, atau meluncurkan drone dari pulau-pulau.
Taktik tersebut akan ini akan menyakitkan, bahkan tanpa ada penyelesaian penuh. Contoh, militer Houthi Yaman menggunakan rudal dan drone, mereka terus mengganggu pengiriman minyak dan barang lain di Laut Merah selama berbulan-bulan. Apalagi Selat Hormuz berada tepat di halaman belakang Iran, tidak berjarak 1.500 km seperti Israel. Sehingga jauh lebih mudah.
Untuk antisipasi penutupan Selat Hormuz, Angkatan Laut AS dan sekutu berpatroli di selat, seperti armada AS ke-5 yang bermarkas di Bahrain, dan sering kali bergabung dengan pasukan Inggris, Prancis, dan regional untuk tujuan melindungi kebebasan navigasi. Namun di perairan yang sempit, insiden dapat terjadi dengan cepat.
Iran pernah melakukan penutupan Selat Hormuz saat perang kapal tanker ketika perang Iran-Irak pada era 1980-an, lalu pada 2019 sebuah serangan misterius terhadap kapal tanker di dekat Fujairah, dan pada tahun 2023 terjadinya pelecehan angkatan laut dan penerbangan pesawat tak berawak oleh IRGC Iran. Kejadian-kejadian itu mendorong harga minyak naik bahkan tanpa penutupan penuh.
Untuk diketahui, beberapa negara membangun jaringan pipa untuk melewati Hormuz, yakni jaringan pipa Habshan–Fujairah milik UEA, jalur pipa Arab Saudi Timur-Barat ke Laut Merah, dan jalur pipa Irak ke Turki melalui Ceyhan (namun kapasitasnya terbatas). Jika digabungkan, mereka hanya menangani kurang dari 10 persen ekspor minyak dari Teluk. Artinya, jika Selat Hormuz berhenti meski sebentar, dunia akan merasakannya.
Untuk diketahui pula, doktrin angkatan laut Iran bertumpu pada kapal serang cepat, kapal selam mini, korvet rudal, rudal jelajah/balistik anti kapal berbasis darat, amunisi lepas pantai (drone), dan artileri pesisir dekat Bandar Abbas dan Pulau Qeshm.
Namun upaya menutup selat tersebut akan menjadi bumerang bagi Iran. Karena akan menghentikan ekspornya sendiri (minyak, kondensat, LPG), serta memicu respons militer AS dan sekutunya. Sehingga penutupan selat adalah pilihan terakhir yang hampir bunuh diri, namun mereka tetap akan mempertimbangkannya.
Walau Iran pada akhirnya benar-benar menutup selat, maka Angkatan Laut AS akan campur tangan dalam beberapa jam dengan mengerahkan kapal pembersih ranjau, patroli udara berbasis kapal induk, dan platform serangan jarak jauh. Namun, pembersihan selat membutuhkan waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu.
Kalau terjadi penutupan Selat Hormuz oleh Iran, maka dampak dalam 24 jam harga minyak Brent dan WTI Oil Price pasti melonjak, pasar LNG (gas alam cair) menjadi tidak stabil, premi asuransi tanker meningkat, dan perusahaan penyulingan minyak di Asia mulai menawar kargo darurat
Harus diingat, bahwa 75 persen ekspor minyak melalui Selat Hormuz ditujukan ke Asia. Termasuk China yang mengimpor paling banyak berdasarkan volume. Selain itu, Jepang, Korea Selatan, dan India lebih bergantung pada Selat Hormuz karena menyumbang sebagian besar asupan minyak mentah mereka.
Meski China punya beberapa pilihan, tetapi yang lainnya tidak, khususnya Jepang dan Korea Selatan pasti akan sangat kekurangan minyak. Perekonomian mereka terkait erat dengan lancarnya transportasi Selat Hormuz yang stabil.
Selain pengangkutan minyak mentah yang melintasi Selat Hormuz, dilintasi juga oleh pengangkutan gas alam cair (LNG) dari Qatar, bahan bakar jet, solar, nafta, dan petrokimia, serta barang elektronik dan makanan dalam kontainer. Artinya selat tersebut mengangkut berbagai macam barang penting, bukan hanya energi.
Untuk diketahui pula, cadangan minyak strategis (SPR) di negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development/organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara maju dan beberapa negara berkembang) hanya menawarkan bantalan (dukungan) jangka pendek.
Contohnya, Jepang yang hanya memiliki cadangan 145 hari impor, Korea Selatan hanya mempunyai cadangan minyak 90+ hari impor, India hanya 25 sampai – 30 hari di tangki-tangki minyak strategisnya.
Jika terjadi penutupan selat, maka perusahaan asuransi maritim bereaksi cepat meski tanpa blokade penuh. Contohnya pada tahun 2019, premi risiko perang untuk kapal tanker di Teluk meningkat 10x dalam sebulan, beberapa kapal dialihkan seluruhnya, operator yang lebih kecil hanya menghentikan pelayarannya. Hal ini akan memiliki efek yang sama seperti blokade sesungguhnya.
Berbagai simulasi militer telah lama menguji skenario di mana Iran mencoba menutup Selat Hormuz. Beberapa menunjukkan kerugian besar di AS dan gangguan selama berminggu-minggu, yang lain mengatakan pembukaan kembali mungkin hanya berlangsung beberapa hari.
Bagaimanapun juga, itu adalah model lama. Namun kenyataannya akan terlihat sangat berbeda sekarang. Sebab Iran memiliki berbagai peralatan canggih untuk mengganggu selat tersebut, meski menutupnya sepenuhnya akan menjadi tindakan bunuh diri. Karena hal itu akan memicu eskalasi besar-besaran, berisiko menyebabkan isolasi total, dan merugikan sekutunya sendiri, seperti China. Namun jika Iran merasa terpojok atau runtuh, Iran dapat melihat ini sebagai pilihan terakhir, jika ancamannya jika rezim di Iran menjelang runtuh.
(Indra Bonaparte)