Jakarta, Aktual.com – Kasus dugaan korupsi kuota haji tambahan untuk musim haji 2024 harus menjadi momentum perbaikan pengelolaan haji secara menyeluruh. Perbaikan tersebut mesti berorientasi pada kepentingan dan pelayanan bagi jemaah haji.

Terlebih, saat ini sudah ada Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) yang mengambil peran Kementerian Agama (Kemenag) dalam pengelolaan dan pelaksanaan ibadah haji. Dengan adanya kementerian khusus, mestinya penyelenggaraan ibadah haji dapat lebih akuntabel, dan transparan sehingga menghasilkan pelayanan yang maksimal bagi jemaah.

“Kami berharap kasus korupsi kouta haji ini membuka mata semua pihak bahwa pengelolaan dan pelaksanaan haji selama ini sangat koruptif dan manipulatif. Dari kasus ini harus menjadi momentum perbaikan penyelenggaraan haji. Apalagi, sudah ada kementerian yang khusus mengurusi ibadah haji,” kata Ketua Umum Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) Ferry Irawan, kepada Aktual.com, Jakarta, Minggu (5/10/2025).

Ferry menyatakan, hingga sekarang masih banyak persoalan yang dihadapi jemaah haji reguler sehingga mereka kurang mendapatkan pelayanan maksimal, bahkan dirugikan. “Calon jemaah haji kan bayar, ya, harusnya mereka mendapatkan pelayanan maksimal dong. Kan mereka konsumen, harusnya berikan pelayanan terbaik, jangan sampai dirugikan,” paparnya.

Baca juga:

KPK Kembali Panggil Mantan Bendahara Amphuri Terkait Kasus Korupsi Kuota Haji 2024

Ia pun mengungkapkan sejumlah persoalan dalam penyelenggaraan haji yang sering dikeluhkan jemaah haji reguler. Pertama, daftar tunggu naik haji yang sangat lama. Bagi calon jemaah haji reguler daftar tunggu rata-rata mencapai 20 hingga 30 tahun. Kedua, penjadwalan keberangkatan haji yang tidak transparan, dan kerap berubah-ubah.

Menurut Ferry, daftar tunggu yang lama dan jadwal keberangkatan haji yang tidak transparan ini menyebabkan celah-celah korupsi. Dengan daftar tunggu haji yang lama, katanya, banyak calon jemaah yang mengundurkan diri atau batal karena alasan kesehatan. Porsi yang kosong ini kerap ditawarkan oknum Kemenag kepada calon jemaah lainnya yang ingin segera berangkat.

“Terjadi jual beli porsi keberangkatan. Oknum Kemenag di kabupaten, provinsi maupun pusat menjual porsi calon jemaah yang gagal berangkat ini kepada calon jemaah yang sudah mendapat nomor porsi haji maupun yang belum,” paparnya.

Dengan modus seperti itu, katanya, calon jemaah haji yang estimasi berangkatnya masih lama bisa naik haji tahun itu juga, tahun depannya, atau mengurangi masa tunggu. Bahkan, ucapnya, banyak kasus di mana masyarakat yang belum daftar haji, begitu mendaftar bisa berangkat di tahun yang sama atau tahun berikutnya.

“Oknum Kemenag yang tahu jumlah porsi yang kosong dan yang batal ini secara aktif menawarkanya ke calon jemaah haji yang sudah dapat porsi, atau pun ke masyarakat yang belum daftar. Harga per kursinya mulai dari Rp150 juta, tergantung daerahnya. Semakin lama daftar tunggunya semakin mahal harganya,” katanya.

Baca juga:

KPK Sebut Transparansi Jadi Kunci Pengelolaan Layanan Haji 2026

Memang, katanya, saat ini ada upaya Kemenag menutup celah itu dengan membuat daftar calon jemaah haji yang berangkat, dan calon jemaah yang masuk daftar antrian sebagai pengganti. Sehingga, ketika ada calon jemaah haji yang gagal berangkat, porsi itu otomatis akan diisi oleh calon jemaah yang masuk daftar antrian pengganti.

“Tapi upaya ini ternyata masih ada celahnya. Oknum di Kemenag masih bisa mengutak-atik daftar antrian pengganti itu. Sehingga, masih ada calon jemaah yang bukan haknya mendapat porsi malah berangkat naik haji,” ungkap Ferry.

Masalah ketiga, katanya, mengenai transparansi dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Menurutnya, ada kekhawatiran publik terhadap bagaimana dana haji dikelola oleh BPKH, termasuk investasinya, dan hasil investasi yang seharusnya diterima jemaah.

“Kita belum mendapatkan laporan transparansi dari BPKH soal bagaimana setiap rupiah dari uang jemaah haji dikelola, dan hasil investasinya bisa diterima jemaah haji secara layak,” paparnya.

Setiap jemaah haji reguler, katanya, menyetorkan uang muka untuk mendapatkan nomor porsi haji sebesar Rp30 juta. Uang inilah yang dikelola BPKH untuk diinvestasikan dan hasilnya diperuntukkan kembali bagi jemaah haji.

“Ketika calon jemaah haji itu gagal berangkat karena uzur dan meninggal, serta tak bisa digantikan keluarganya, uang pengembalian yang diterima justru berkurang 75 persen dari dana yang sudah disetorkan. Ke mana uang hasil investasinya?,” ucapnya.

Baca juga:

Misteri Tersangka Kuota Haji dan Ujian Keberanian KPK

Menurutnya, ada potensi kerugian yang dialami calon jemaah haji. Semestinya, setiap rupiah uang calon jemaah haji yang diinvestasikan harus kembali ke jemaah haji. Normalnya, ketika calon jemaah haji ini gagal berangkat, maka uang yang dikembalikan melebihi setoran yang sudah disimpan.

Masalah keempat, kata Ferry, mengenai layanan dan kualitas pelayanan yang diterima jemaah haji di Makkah maupun Madinah. Kasus yang sering dialami jemaah adalah keterbatasan akomodasi. Baik penempatan hotel yang jauh dari Masjidil Haram, atau pun kualitas penginapan yang kurang memadai.

“Jemaah juga mengalami keterbatasan soal makanan dan transportasi. Keluhan yang dialami adalah kualitas makanan, dan keterlambatan transportasi antar lokasi (hotel – masjid – Arafah – Mina),” ujar Ferry.

Kondisi tersebut, acapkali diperparah dengan pelayanan dari Petugas Haji. Tidak semua petugas haji, katanya, memiliki kompetensi dan empati tinggi dalam melayani jemaah, terutama jemaah lanjut usia.

“Sering kita melihat, Petugas Haji hanya berjalan-jalan, belanja, foto-foto, ngopi-ngopi, flexing. Sementara, banyak ditemukan jemaah yang telantar, tidak terurus. Misalnya, jemaah yang ketinggalan transportasi atau jemaah yang tersasar. Padahal, mereka dibayar jemaah haji dan dibayar negara,” tutur Ferry.

Baca juga:

Kementerian Haji, Optimisme Ubah Lahan Masalah ke Ladang Pelayanan

Kelima, ucapnya, masalah di sistem informasi dan digitalisasi. Kemenag, ucapnya, telah membuat Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) secara online dan real time. Namun, ia melihat integrasi sistem kurang efektif.

“Ada masalah dalam sinkronisasi data antara Kemenag, operator haji, dan sistem e-Hajj Arab Saudi. Belum lagi literasi digital jemaah haji. Banyak jemaah yang gagap teknologi, kesulitan menggunakan aplikasi digital untuk informasi jadwal, lokasi, dan layanan kesehatan,” paparnya.

Selain itu, kata Ferry, Siskohat juga sering kali bermasalah dan mengalami gangguan teknis dalam pendaftaran haji maupun pelunasan biaya haji secara online.

Persoalan keenam, ucapnya, terkait manasik, pembinaan, dan pendampingan jemaah oleh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU). Ia menyebut, banyak KBIHU yang hanya berorientasi mencari sebanyak-banyak calon jemaah haji, tanpa melakukan pembinaan yang kurang intensif.

“Terutama KBIHU di pelosok-pelosok yang jauh dari ibukota kabupaten, banyak KBIHU yang hanya mencari sebanyak-banyaknya calon jemaah haji yang akan dibimbing, tapi kurang dalam membina, mengarahkan, mendampingi jemaah baik di tanah air maupun di tanah suci,” ucapnya.

Baca juga:

Kemenhaj Minta DPR Segera Bentuk Panja BPIH

Ketujuh, Ferry mengungkap masalah kesehatan dan keamanan jemaah haji. Manajemen kesehatan bagi jemaah haji dianggapnya kurang pptimal. Pemeriksaan kesehatan prahaji belum selalu ketat, sehingga banyak jemaah dengan penyakit bawaan tetap diberangkatkan.

“Layanan medis di tanah suci sangat terbatas, baik secara fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan tidak memadai dibandingkan jumlah jemaah,” papar Ferry.

Terakhir, kata Ferry, adalah kurangnya evaluasi berkelanjutan. Setiap tahun, ucapnya, semua permasalahan di atas selalu terulang. Namun, persoalan tersebut tidak dijadikan pelajaran untuk perbaikan di tahun berikutnya.

“Jemaah haji hanya dinasihati untuk bersabar karena sedang ibadah. Maka jemaah haji sering tidak berdaya ketika mendapat pelayanan yang tidak maksimal, bahkan dirugikan,” katanya.

Karena itu, Ferry berharap, Kemenhaj bisa belajar dari persoalan-persoalan haji di atas. Jika, kemenhaj pada pelaksanaan haji tahun ini masih melakukan kesalahan yang sama, maka pengelolaan haji tak ubahnya hanya berubah pelaksana saja dari Kemenag ke Kemenhaj.

“Masalah haji ini persoalan serius, menyangkut ibadah utama bagi umat muslim. Mereka yang naik haji juga menunggu lama, melalui perjuangan yang berat untuk bisa menunaikan rukun Islam kelima itu. Jangan main-main dengan penyelenggaraannya,” pungkas Ferry.

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi

1 KOMENTAR