Jakarta, Aktual.co —  Ketua Asosiasi Bina Haji dan Umrah Nahdlatul Ulama (PP Asbihu NU) KH. Hafidz Taftazani menyatakan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberi apresiasi kepada seluruh tokoh agama dan pemuka masyarakat Aceh dalam menyikapi dan memperlakukan pengungsi Rohingnya dengan baik, dan bahkan minta pengungsi tersebut dapat ditampung di sejumlah pondok pesantren di wilayah tersebut.

“Hal itu merupakan wujud dari bentuk kepedulian sosial yang tinggi, sekaligus pula realisasi sikap pemerintah Indonesia dalam memelihara ketertiban dan perdamaian dunia,” kata Hafidz Taftazani di Jakarta, Senin (8/6).

Hafidz baru saja kembali dari kunjungan kerjanya meninjau para pengungsi Rohingya di sejumlah tempat di Aceh. Atas nama PBNU, ia menyerahkan bantuan yang diserahkan langsung kepada para pengungsi sebesar Rp100 juta.

“Atas saran Lembaga swadaya masyarakat (LSM), ulama dan rekan-rekan di sana, bantuan berupa uang diserahkan langsung kepada para pengungsi. Mereka langsung memanfaatkannya sesuai keperluan dirinya masing-masing. Di sekitar lokasi pengungsian, memang ada warung menyediakan kebutuhan pokok dan lainnya,” cerita Hafidz.

“Ini merupakan pertama kali para pengungsi menggunakan uang rupiah di negeri orang,” ia menambahkan.

Peran warga Aceh membantu menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia patut diberi apresiasi. Sebab, warga etnis Rohingya diperlakukan dengan baik. Kepedulian memberi bantuan pun terus mengalir. Bahkan di antara itu, pemuka agama dan pimpinan pondok pesantren di daerah itu siap menampung para pengungsi dari Myanmar tersebut, katanya lagi.

Etnis Rohingya yang beragama Islam, menurutnya, mengungsi bukan untuk mencari suaka politik atau mencari kerja di negara lain. Mereka keluar dari Myanmar lantaran merasa tidak nyaman karena tekanan di negerinya sendiri yang berujung pada upaya pembunuhan. Sudah mendekati genosida atau genosid, yaitu mereka dibantai besar-besaran secara sistematis dengan maksud memusnahkan etnis bersangkutan.

“Jadi, semata-mata mereka mencari selamat,” kata Hafidz.

Dari sisi historis, menurut dia, suku tersebut sudah ratusan tahun mendapat perlakukan diskriminasi di Myanmar. Mereka tidak diterima sebagai warga negara oleh Myanmar. Etnis penganut Muslim itu tak punya status kewarnegaraan. Jika ingin menjadi warga negara setempat harus mampu membuktikan bahwa nenek moyang mereka orang Myanmar. Jadi, suku Rohingya terusir dari tanah mereka akibat diskriminasi berpuluh-puluh tahun oleh pemerintah dan kelompok Buddha.

Terkait dengan pengungsi itu, ia mengimbau para ulama setempat agar perhatian kepada pengungsi Rohingya tidak berkurang. Kesediaan Pondok Pesantren Bustanul Arifin pimpinan KH Tengku Sarkowi di Aceh Tengah menampung para pengungsi tersebut diharapkan diikuti pondok pesantren lainnya.

“Pengungsi disarankan tidak keluar Aceh, tapi dapat ditampung di seluruh Pondok Pesantren di daerah itu saja. Itu harapan ulama Aceh,” kata Hafidz yang mendapat laporan dari kunjungannya melihat sejumlah tempat pengungsian Rohingnya, beberapa hari lalu.

Sebanyak 421 imigran asal Bangladesh dan 256 pengungsi Rohingya mendarat di Lhoksukon, Aceh Utara. Gelombang manusia perahu itu merupakan yang kedua tiba di Aceh, setelah sebelumnya hampir 600 pengungsi terdampar di sana, akhir April silam.

Malaysia dan Indonesia pekan lalu sepakat menampung para pengungsi Rohingya dan Bangladesh untuk sementara. Jumlah pengungsi diperkirakan mencapai 7000 orang. Kedua negara juga mengimbau masyarakat internasional untuk membantu.

Menurut Hafidz, PBNU dan majelis agama Buddha seperti Walubi, diharapkan dalam waktu dekat dapat berkunjung ke Myanmar. “Kita ingin menemui pemerintah setempat membicarakan pengungsi. Kita juga ingin menjelaskan tentang kerukunan antarumat yang ada di Indonesia. Islam dan Buddha, termasuk dengan agama-agama lainnya sejatinya dapat hidup berdampingan dalam suasana damai,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid