Jakarta, Aktual.com – Aksi Kamisan yang sudah berjalan sejak tahun 2007 di depan Istana Negara, kembali mendapat ‘gangguan’ dari penegak hukum. Pada gelar aksi yang ke-419, Kamis (12/11), kepolisian dari Polsek Gambir, Jakarta Pusat, meminta peserta yang berjumlah sekitar 70 orang untuk digeser ke sebelah kiri, menjauh dari depan Istana.

Sumarsih sebagai penggagas aksi tegas menolak permintaan itu. “Kami tidak mau,” tutur perempuan berusia 63 tahun itu, saat dihubungi Aktual.com, Kamis (12/11).

Ibu dari Norma Irmawan alias Wawan, aktivis Universitas Atmajaya Jakarta yang tewas tertembak di Tragedi Semanggi I 13 November 1998 itu, justru menanyakan balik dasar polisi meminta mereka pindah lokasi.

Polisi, ujar dia, mengatakan berpegang pada UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyatakan pendapat. “Bahwa 100 meter dari pagar istana dilarang demo,” ujar Sumarsih.

Tak gentar sedikitpun, Sumarsih justru mengakui dirinya memang melanggar ketentuan dari UU 9/98. Tapi, Sumarsih terus bertanya, “Apakah pembunuh anak saya dan kawan-kawannya juga dianggap melanggar UU?”

Lanjut dia, apakah UU No 26 tahun 2000 yang mengatur soal pelanggaran HAM juga sudah dilaksanakan dengan benar mekanismenya. “Lalu bagaimana jika UU 9/98 ternyata adalah produk hukum untuk menindas saya yang menjadi korban untuk dipindah saat aksi di depan istana?” kata dia.

Diakuinya, permintaan semacam ini bukan kali pertama dialami peserta Aksi Kamisan di depan istana. “Jaman SBY dulu berkali disuruh pindah ke patung kuda, ke DPR. Atau kalau ada tamu negara disuruh minggir dulu, jelang hari kemerdekaan juga tidak boleh,” kata dia.

Kalau jaman SBY, kata dia, dilarang aksi Kamisan karena tiap hari itu ada rapat kabinet. “Jadi Aksi Kamisan dianggap mengganggu presiden di istana,” kata dia.

Ketimbang memaksa bergeser lokasi aksi, Sumarsih pun ‘membocorkan resep’ kalau pemerintah ingin Aksi Kamisan tidak ada lagi di depan istana. “Yakni kalau mekanisme pelanggaran HAM yang diatur di UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dilaksanakan dengan baik. Kami pasti tidak akan bikin aksi lagi,” ujar dia mantap.

Sedangkan hingga 16 tahun Aksi Kamisan berjalan, pelaku kasus Semanggi belum juga terkuak. Padahal, ujar dia, Komnas HAM sudah lakukan penyelidikan, tapi Kejagung selalu kembalikan berkas dengan berbagai alasan. “Artinya Kejagung tidak mau melanjutkan berkas Komnas HAM ke tingkat penyidikan. Bahkan Kejagung pernah menyatakan Kasus Semanggi dan Trisakti hilang,” ucap dia.

Karena alasan-alasan itulah, Sumarsih tetap tegas menolak menggeser lokasi Aksi Kamisan. “Kalau kami disuruh aksi semakin dekat dengan istana saya mau, kalau semakin jauh saya tidak mau. Karena kalau semakin dekat istana, pembantu menteri dan presiden akan mendengar tuntutan kami dan akan melaksanakannya. Kalau semakin jauh mereka tidak mendengar,” kata dia.

Sumarti juga menegaskan, mereka akan tetap menggelar Aksi Kamisan di lokasi yang sama minggu depan. “Saya akan tetap bertahan sampai pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia,” tegas dia.

Lagipula, kata dia, Aksi Kamisan sebenarnya adalah bagian dari mengawal visi misi Pemerintahan Jokowi-JK saat kampanye dulu. “Mengawal nawacita yang di dalamnya menyatakan bahwa kami (Jokowi-JK) berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan berkomitmen menghapus impunitas,” ucap Sumarsih.

Aksi Kamisan yang ke-419 antara lain dihadiri Keluarga Korban Semanggi, LBH Jakarta, Korban 65, Korban Tanjung Priok, YSIK, Walhi, Mahasiswa Atmajaya, STF Driyakara, KontraS, dan warga Argentina.

Artikel ini ditulis oleh: