Evaluasi RAPBN 2019 Oleh FITRA
Benarkah pemerintah telah bekerja maksimal dan mengambil kebijakan yang tepat serta melakukan belanja yang efektif untuk pembangunan nasional. Karenanya, dirasa perlu untuk mengevaluasi sekaligus menganalisa perencanaan fiskal yang telah dirancang oleh pemerintah melalui RAPBN 2019.
Terlebih kata Deputi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, dalam suasana ketidakpastian global akibat perang dagang, pemerintah harus membelanjakan anggaran secara efektif dan produktif. Apalagi mengingat situasi nasional pada 2019 sebagai tahun politik, hal ini kerap terjadi penyalahgunaan kebijakan dan anggaran sehinggga dikhawatirkan kajian RAPBN tidak sesuai dengan tantangan ekonomi nasional.
Ditinjau dari aspek penerimaan negara, harus diakui kontribusi Pajak terhadap Pendapatan Negara dan Hibah pada era Kabinet Kerja rata-rata mencapai 82 persen, jauh melampaui penerimaan pajak pada era Kabinet Indonesia Bersatu I (KIB I) yang rata-rata hanya mencapai 69 persen dan KIB II mencapai 74 persen.
Pada RAPBN 2019, Pedapatan Negara dan Hibah diproyeksi mencapai Rp 2.142 Triliun, dimana 83 persennya disumbang dari sektor perpajakan. Menurut Misbah, tingginya penerimaan pajak tersebut tidak terlepas dari program tax amnesty dan tax holiday dari Pemerintahan saat ini.
Namun sayangnya ujar Misbah, Tax Amnesty belum mampu menyasar tujuan sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, antara lain mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta yang akan berdampak pada memperkuat nilai tukar rupiah. Namun faktanya, kendati penerimaan meningkat dari Tax Amnesty, realisasinya nilai tukar rupiah semakin melemah.
Tak hanya itu, Tax Amnesty juga dinilai belum mampu secara maksimal meningkatkan partisipasi Wajib Pajak. Diketahui total peserta tax amnesty sebanyak 965.983 Wajib Pajak (WP) atau hanya 2,95 persen dari WP terdaftar di tahun 2016. Artinya secara jangka pendek, Tax Amnesty masih belum mampu menjadi solusi penerimaan negara namun secara jangka panjang melalui deklarasi harta kekayaan senilai Rp 4.800 Triliun dapat menjadi modal awal yang baik.
Baca juga:http://www.aktual.com/kegoncangan-ekonomi-dan-taipan-istana
“Pemerintah harus konsisten dengan tujuan awal diberlakukannya Tax Amnesty, jangan hanya puas dengan penerimaan pajak dalam negeri,” tutur Misbah.
Selanjunya untuk Belanja Pegawai, pada RAPBN tahun 2019 ditetapkan mencapai Rp 368,6 Triliun atau naik sekitar Rp 26,1 Triliun dibanding tahun 2018. Secara rata-rata, Belanja Pegawai di era Kabinet Kerja mencapai 24 persen dari Total APBN. Meski Jokowi baru dua kali menaikkan Gaji Pegawai selama periode pemerintahannya, persentase Belanja Pegawai-nya jauh di atas era Kabinet Indonesia Bersatu I (KIB I) dan KIB II yang rata-rata mencapai 17 persen dan 20 persen.
“Kenaikan Gaji Pegawai pada akhir periode terkesan sebagai upaya pencitraan di tahun politik. Perlu evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Reformasi Birokrasi di Indonesia,” pinta Misbah
Berikutnya, diketahui kebijakan pemerintahan Jokowi-JK melakukan pemangkasan subsidi untuk melonggarkan fiskal. Rata-rata Belanja Subsidi di era Jokowi hanya 15 persen dari Belanja Negara. Penggunaan anggaran penghematan subsidi pada awalnya memang untuk pelayanan dasar, tetapi belakangan, menurut Misbah penggunaan anggaran dari pengalihan subsidi mulai tidak jelas.
Pada Tahun 2015 pemerintah mendapat tambahan dana Rp.186 Triiun dari Pengalihan dana subisidi BBM. Alokasi pengalihan dana digunakan untuk mendukung program-program pemerintah seperti pembangunan infrastruktur dan ketahanan pangan. Pengalihan dana subsidi terbesar dialokasikan untuk anggaran proyek infrastruktur (Rp 33,2 triliun) dan sektor pertanian (Rp 16,9 triliun). Namun belakangan peruntukan dari pengalihan subsidi tersebut tidak memiliki kejelasan lagi.
“Pemerintah saat ini harus terbuka terkait penggunaan anggaran penghematan subsidi yang mulai 2016 sudah tidak jelas,” kata dia.
Kemudian yang memprihatinkan bagi FITRA, kendati pemerintah sudah banyak memangkas subsidi,namun kondisi keuangan semakin bergantung pada utang. Pada tahun 2019 diperkirakan pembiyaan negara yang bersumber dari utang sebesar 15 persen dari total Belanja Negara. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Belanja untuk Fungsi Pendidikan yang rata-rata hanya 11 persen dan Kesehatan yang hanya 4 persen dalam 5 tahun terakhir.
Baca juga:http://www.aktual.com/membaca-tanda-runtuhnya-ekonomi-era-jokowi
“Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui Utang Luar Negeri,” pungkas dia.
Selanjutnya…
#‘Bom Bantuan Sosial’ Untuk Kepentingan Politik
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta