‘Bom Bantuan Sosial’ Untuk Kepentingan Politik

Kekhawatiran FITRA akan penyimpangan kebijakan dan anggaran di tahun politik dapat terindikasi dari adanya pernyataan Menteri Sosial, Idrus Marham yang meminta masyarakat penerima manfaat Bantuan Sosial (Bansos) agar memilih Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2019, lantaran anggaran Bansos meningkat menjadi Rp.34,4 Triliun dari tahun 2018 yang hanya Rp.17 Triliun.

Namun belum bisa disimpulkan apakah kenaikan anggaran Bansos mencapai 100 persen itu berpengaruh pada ketimpangan belanja dalam APBN ataukah berdampak positif bagi petumbuhan ekonomi, yang pasti pos anggaran Bansos memungkinkan ditunggangi untuk kepentingan politik pihak penguasa. Atau istilahnya sambil berenang minum air, sambil menjalankan program juga digunakan sebagai alat kampanye untuk melambungkan citra Jokowi.

Menaggapi hal ini, pada dasarnya Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra, Arief Poyuono, mengapresiasi kenaikan anggaran Bansos untuk mensejahterakan masyarakat. Tetapi yang perlu diperhatikan ujar Arief, kenaikan anggaran Bansos itu bukan semata inisiatif dari pemerintah namun juga hasil kerja politik bersama DPR. Sehingga tidak bisa diklaim bahwa itu hanya keberhasilan eksekutif semata.

Kemudian lanjut Arief, dalam peyaluran Bansos terdapat embel-embel kampanye menyeru untuk memilih pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada pemilu mendatang, itu artinya sebagai bentuk tindakan suap dan penyalahgunaan anggaran Bansos

“Artinya masyarakat harus tahu akan adanya upaya penyelewengan dana Bansos 2019 yang akan digunakan untuk kepentingan Pemilu 2019. KPK harus bisa mengawasi dengan ketat pengunaan dana Bansos 2019 untuk kepentingan kampanye pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin,” tutur Arief.

Hal senada juga disampaikan politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, dia menyayangkan niat pemerintah menaikan anggaran Bansos hingga 100 persen hanya untuk kepentingan kanpanye politik. Menurut Ferdinand, tindakan itu sebagai wujud pelanggaran hukum dan kecurangan dalam pemilu.

“Tahap kampanye saja belum, tapi Menteri dan pejabat negara sudah kampanye pilih Jokowi, bahkan memperalat Bantuan Sosial. Netralitas yang hilang dalam demokrasi ini sangat berbahaya,” pungkas dia.

Ketika Aktual.com mengkonfirmasi kepada Kepala Bagian Publikasi dan Pemberitaan, Biro Humas Kementerian Sosial, Salahuddin Yahya prihal pernyataan Menteri Idrus Marham yang dimuat di beberapa media sosial terkait ajakan memilih Jokowi bagi penerima manfaat Bansos, sayangnya Salahuddin Yahya tidak bersedia memberi komentar banyak, hal ini atas pertimbangan etis lantaran Idrus Marham belakangan telah mengundurkan diri dari jabatannya selaku Mensos akibat kasus hukum suap PLTU Riau-1 yang menyeret namanya.

“Beliau sudah mudur dari Mensos,” kata Salahuddin.

Baca juga:http://www.aktual.com/mengendus-peran-idrus-marham-dan-sofyan-basir-di-kasus-pltu-riau-1

Pada sektor Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) juga mengggunakan motif yang sama dengan mengiming-ngimingkan masyrakat akan kenaikan anggaran supaya tetap memilih Jokowi pada Pemilu mendatang.

Mendes, Eko Putro Sandjojo mengatakan, dalam RAPBN Tahun 2019 pemerintah menaikkan anggaran hingga Rp73 Triliun, atau naik Rp13 Triliun dibanding tahun 2018 yang hanya Rp60 Triliun. Karenanya kata Eko, jika Jokowi terpilih lagi menjadi Presiden, pemerintah akan menaikkan lagi anggaran Dana Desa.

“Kalau Presidennya Pak Jokowi pasti akan dinaikkan lagi (Dana Desa). Bukan politik, tapi beliau memang semangatnya mau membangun desa,” tutur Eko di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (24/8).

Melihat motif yang ada, Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi mengaku telah melihat potensi akan penyalahgunaan aggaran di akhir masa kekuasaan. Secara umum jelas Uchok, bisa dilihat dari struktur RAPBN 2019 terjadi pembengkakan pada pos belanja yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat.

Oleh sebab itu, CBA menyerukan kepada unsur terkait, utamanya pihak penyelenggara Pemilu untuk melakukan pengawasan yang ketat akan kecurangan pemilu dengan menjadikan APBN sebagai alat politik untuk mendulang suara pihak tertentu.

“Tidak boleh kampanye dengan menggunakan dana negara. Atau hukumnya haram ketika dana negara digunakan untuk menyuap rakyat agar dapat mendulang suara. Dari struktur RAPBN 2019 memang harus diwaspadai adanya kenaikan dana Sosial. Ini sangat kelihatan, naiknya di tahun politik, sedangkan dari tahun 2015 hingga 2018 alokasi dana sosial sangat minim sekali bahkan cenderung mau dihilangkan, indikasinya subsidi BBM dan Listrik dikurangi,” Pungkas Uchok.

[pdfjs-viewer url=”http%3A%2F%2Fwww.aktual.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2FFanzine-270818_Pembengkakan-Utang-dan-%E2%80%98Bom-Pencitraan%E2%80%99-Diakhir-Pemerintahan.pdf” viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta