Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Martri Agoeng, meminta pemerintah berhati-hati membentuk perusahaan induk (holding) BUMN.

“(Pembentukan ‘holding’ BUMN) perlu dilakukan dengan hati-hati, karena ini tentang kekayaan negara dan nasib rakyat yang menjadi taruhan. Cepat bukan berarti ceroboh. Berhati-hati bukan berarti lambat,” katanya dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (28/12).

Menurut dia, Presiden RI Joko Widodo telah memberi arahan strategis yakni membangun BUMN yang transparan, profesional, dan berkelas dunia.

“Namun, apakah implementasi arahan Presiden itu berupa ‘holding’?,” ujar politikus asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah tersebut.

Apalagi, lanjutnya, pemerintah tidak hanya berencana membentuk satu atau dua, namun lima induk BUMN yakni perbankan, konstruksi, perumahan, migas dan pertambangan.

“Pembentukan lima ‘holding’ itu begitu berani, karena penggabungan perusahaan bukan hal yang mudah dan bahkan sering kali berakhir dengan kegagalan. Permasalahannya bukan sebelum ‘holding’ terbentuk, namun setelahnya,” katanya.

Martri mencontohkan “holding” perkebunan yang masih berjuang untuk keluar dari kondisi kerugian, semen mesti menghadapi kondisi pangsa pasarnya yang terus tergerus, dan pupuk juga mengalami hal yang serupa.

“Membangun ‘holding’ tidaklah mudah dan apalagi ini akan dibangun lima ‘holding’ sekaligus,” ujarnya.

Untuk menciptakan BUMN berkelas dunia, lanjutnya, perlu disesuaikan dengan konteks Indonesia dan dilaksanakan dengan strategi yang jitu.

Martri juga mempertanyakan alasan pemerintah memilih Temasek Singapura atau Khazanah Malaysia sebagai acuan (benchmark) dari rencana pembentukan “holding” BUMN tersebut.

“Temasek adalah perusahaan ‘holding’ yang dimiliki Pemerintah Singapura dengan fungsi sebagai perusahaan investasi atas kekayaan negara. Temasek bertindak sebagai pemegang saham aktif dan investor,” tuturnya.

Sebagai perusahaan investasi, lanjutnya, Temasek banyak berinvestasi di ekuitas, memiliki aset, dan membayar pajak selayaknya perusahaan investasi pada umumnya.

“Apakah Temasek ini bentuk ‘holding’ yang akan dituju? Apakah Temasek cocok untuk dijadikan sebagai ‘platform’? Di sinilah konteks Indonesia harus dimasukkan,” ucapnya.

Martri menambahkan UUD 1945 Pasal 33 menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya alam atau sektor yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, haruslah dikuasai negara.

Penguasaan negara itu, katanya, tidak berhenti pada pembuatan kebijakan atau perizinan, tapi sampai kegiatan pengelolaan.

Bentuk pengelolaan itu, lanjutnya, dilakukan langsung oleh negara melalui BUMN, sehingga BUMN harus merupakan bentuk penyertaan langsung negara.

“Fungsi dari BUMN ini terutama untuk memastikan pemanfaatan dan hasil pengelolaannya untuk kepentingan rakyat banyak. Artinya, bukan semata mata keuntungan saja atau menjadi tempat investasi kekayaan negara yang harus dilipatgandakan. BUMN tidak berbisnis dengan rakyat,” ujarnya.

Oleh karena itu pula, bila melihat konteks pengelolaan investasi kekayaan negara oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN serta konteks filosofis BUMN di Indonesia, maka inisiatif “holding” BUMN haruslah benar-benar perlu dilihat dan dikaji kembali.

Martri sependapat dengan ekonom senior Faisal Basri yang mengusulkan “framework” evaluasi BUMN berdasarkan eksternalitas versus profitabilitas.

Namun, tambahnya, sampai saat ini masih belum jelas “framework” yang digunakan pemerintah dan seolah-olah “holding” adalah solusi untuk seluruh permasalahan BUMN.

“Arahan Presiden sudah jelas dan itu menjadi mimpi seluruh rakyat Indonesia untuk memiliki BUMN yang profesional, transparan, dan berkelas dunia dengan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, intepretasinya tidak boleh sembarangan dengan langkah korporasi yang sembarangan pula dan apalagi berisiko merugikan negara yang ujungnya berlawanan dengan cita-cita bangsa,” ujar Martri.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: