“Karena yang terjadi, konsumsi rumah tangga di bulan Januari-Februari itu dapat tekanan inflasi yang cukup besar. Sehingga menggerus daya beli masyarakat dan kontribusinya kian berkurang. Karena kehidupan rakyat memang masih jauh dari sejahtera,” terang Bhima.

Di sisi lain, di tahun lalu realisasi investasi pun pertumbuhannya sama-sama mengalami penurunan. Dan investasi tidak bisa lagi menjadi daya dorong pertumbuhan.

“Terus pemerintah mau berharap pada apa yang bisa menjadi daya dorong? Kalau ke ekspor-impor, ity pun tak bertumbuh signifikan. Sekalipun surplus, tapi itu surplus yang semu,” jelas dia.

Karena yang terjadi, bukan surplus ekspornya naik melainkan gara-gara impornya turun cukup dalam. “Bahkan jika impor itu dikaji lagi, ternyata yang paling banyak adalah impor barang konsumsi yang terus naik, sementara impor bahan baku industri dan bahan baku penolong ini sama-sama mengalami penurunan,” papar dia.

Apalagi kemudian, kata dia, laju inflasi tahun ini akan lebih tinggi sehingga bisa mengganggu perekonomian. Makanya, pemerintah harus serius memperhatikan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) kapasitas 900 Volt Ampere (VA) dan rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM).

“Apalagi jika nanti akan naik bareng di Juni-Juli, itu akan menjadi puncak inflasi. Karena ini adalah inflasi musiman lebaran, inflasi tahun ajaran baru, plus inflasi pangan dan transportasi, maka dampaknya akan menggerus konsumsi rumah tangga. Itu yang akan membuat pertumbuhan anjlok,” pungkas Bhima.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka