Peneliti mengoperasikan reaktor pengolah campuran logam tanah jarang di Laboratorium pengolahan logam tanah jarang, Gedung Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Yogyakarta, Babarsari, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (4/1). BATAN Yogyakarta menguji kesiapan Thorium hasil pengolahan limbah penambangan timah sebagai sumber energi alternatif untuk bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/pd/17.

Jakarta, Aktual.com – Istilah go nuklir saat ini kian menyeruak, bahkan beberapa kalangan mengusulkan agar salah satu rekomendasi KTT G20 di Bali adalah go nuklir.

Pakar perlucutan senjata nuklir, Dr Isroil Samihardjo menegaskan, tidak munculnya rekomendasi go nuklir dari KTT G20 di Bali adalah sangat tepat bahkan sebaiknya Presiden tidak perlu mengeluarkan pernyataan go nuklir, karena sejatinya Indonesia sudah go nuklir sejak tahun 1950an.

Terlebih, Indonesia saat ini memiliki tiga reaktor nuklir yaitu Reaktor TRIGA Mark II di Bandung yang dibangun tahun 1961, Reaktor Nuklir Kartini di Jogjakarta yang dibangun tahun 1974, dan Reaktor GA Siwabessy di Serpong yang dibangun tahun 1983.

“Ketiga reaktor nuklir tersebut hingga saat ini masih berfungsi sangat baik dan Reaktor Serpong adalah merupakan reaktor nuklir terbesar di Asia Tenggara,” katanya seperti yang dikutip, Rabu (30/11).

Menurut Doktor Isroil, mengembangkan dan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia adalah suatu keniscayaan, tetapi membuat pernyataan go nuklir adalah kurang tepat bahkan akan kontra produktif dengan upaya pembangunan reaktor itu sendiri.

Mengapa?

Pertama, menurut Doktor Isroil yang pernah menjadi Anggota Delegasi Indonesia pada sidang-sidang Perlucutan Senjata (disarmament) di PBB antara tahun 1991-2007, go nuklir itu dapat dimaknai juga akan mengembangkan senjata nuklir padahal sudah ada Traktat Non Proliferasi atau NPT (Non Proliferation Treaty) bahwa tidak ada satu pun negara yang boleh mengembangkan senjata nuklir.

Traktat itu ditandatangani pada tahun 1968 dan mulai berlaku (entry into force) pada tahun 1970. Indonesia telah meratifikasinya pada tahun 1979. Saat ini ada 191 negara pihak p[ada traktat tersebut.

Kedua, senjata-senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction) yang terdiri daari senjata nuklir, biologi dan kimia itu semuanya bersifat “dual use” dimana di satu sisi dapat digunakan untuk kesejahteraan (peaceful uses) di sisi lain dapat digunakan untuk permusuhan (hostile purposes).

Benar bahwa istilah go nuklir dimaksudkan untuk go energi nuklir namun karena sifat dual use itu, dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang akan mengambil keuntungan dengan menafsirkannya sebagai niat akan mengembangkan senjata nuklir seperti halnya kasus Iran.

Dimana negara tersebut baru mengembangkan pengayaan Uranium untuk keperluan energi (saat itu masih jauh di bawah weapon grade) sudah dituduh akan mengembangkan senjata nuklir karena sebelumnya sudah dicap sebagai negara iblis sebagaimana dinyatakan oleh mendiang Presiden AS George W Bush pada 29 Januari 2002 bahwa Iran, Irak dan Korea Utara adalah poros setan (axis of evil).

Bandingkan dengan Pakistan, India dan Israel yang sudah nyata-nyata memiliki hulu ledak nuklir (nuclear warhead) tidak dipermasalahkan hanya karena mereka tidak digolongkan sebagai poros setan.

Pakistan, India dan Israel masing-masing memiliki 165, 160 dan 90 hulu ledak nuklir.
Ironisnya ketiga negara tersebut tidak menandatangani NPT (non-signatory) dan di sisi lain Iran telah meratifikasi NPT.

Dengan munculnya konflik Rusia-Ukraina tentunya istilah go nuklir akan menjadi isu yang sangat sensitif apalagi Indonesia harus berdiri di tengah antara negara-negara NATO dan Non NATO.

Posisi non-alignment tersebut akan dapat terganggu oleh munculnya pernyataan go nuklir.

Oleh karena itu sebaiknya pemerintah tidak perlu menyatakan go nuklir kapan pun juga.
Istilah “siap menggunakan energi nuklir” akan lebih bijaksana.

Istilah “ready for nuclear energy” atau yang sejenis dengan itu akan lebih bijaksana misalnya “siap energi nuklir” karena sejatinya Indonesia telah siap dan mampu mengembangkan pembangkit listrik bersumber dari nuklir khususnya dari sisi sumberdaya manusianya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu