Dunia pendidikan kita melenceng jauh dari orbit hakikat pendidikan sesungguhnya. Paling jauh, yang dikembangkan dalam sistem persekolahan kita hanyalah “pengajaran” (onderwijs)– pemberian materi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan, dengan mata pelajaran yang sarat muatan kognitif.

Bias pengajaran membuat dunia pendidikan pada umumnya mengabaikan tugas mendidik: memberikan tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak. Ki Hadjar Dewantara mengingatkan bahwa “pendidikan”(opvoeding) merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada pengajaran. Pendidikan bermaksud “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-setingginya”.

Singkat kata, pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup, yang diperantarai sekaligus membentuk kebudayaan. Dalam proses belajar memanusia dan membudaya itu, tugas guru bukanlah memaksakan sesuatu pada anak, melainkan menuntun mengeluarkan potensi bawaan anak agar bertumbuh.

Dari situlah muncul istilah education (Latin: educare; ex-ducare) yang berarti mengeluarkan dan menuntun, dalam arti mengaktifkan kekuatan terpendam bawaan sang anak.

Apa yang harus diaktifkan adalah budi-pekerti. Budi mengandung arti “pikiran, perasaan dan kemauan” (aspek batin); pekerti artinya “tenaga” atau “daya” (aspek lahir). Alhasil, pendidikan budi-pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan dan kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat malahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar dan indah.

Dengan “budi-pekerti” anak didik diharapkan berdiri sebagai manusia merdeka yang mengandung tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dapat mengatur diri sendiri. Manusia merdeka yang dikehendaki bukanlah pribadi individualistis seperti dalam konsepsi libertarian, melainkan pribadi etis yg memahami tanggung jawabnya bagi kebajikan hidup bersama.

Belajar Merunduk, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin