Jakarta, Aktual.com – Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute (TII) Nuri Resti Chayyani mengatakan para pemangku kepentingan perlu bekerja keras dalam upaya mencapai target inflasi sebesar 3,3 persen year on year (yoy) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.

“Melihat outlook tahun ini yang sebesar 4,0 hingga 4,8 persen yoy, untuk turun hingga 3,3 persen perlu kerja keras bagi Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan,” ujar Nuri saat dihubungi oleh Wartawan, Selasa (16/8).

Nuri mengatakan pemerintah terlalu optimis menargetkan inflasi di kisaran itu, mengingat angkanya cukup jauh di bawah outlook tahun ini. Meskipun, menurut dia, target itu bukan hal yang mustahil untuk dicapai pada 2023 nanti.

Ia menyarankan berbagai langkah yang bisa ditempuh pemerintah untuk mencapai target itu, diantaranya menjaga ketersediaan komoditas. Selama ini, lanjut dia, kelangkaan suatu komoditas dapat memberi efek domino terhadap komoditas lainnya.

“Kita ambil contoh, seperti kemarin minyak goreng yang mengalami kelangkaan, dapat mengguncang harga komoditas lain,” ujar Nuri.

Selain itu, pemerintah juga perlu menjaga ekspektasi inflasi yang ada di benak masyarakat dan dari kondisi moneter, seperti jumlah uang beredar yang ada di masyarakat.

Kemudian, ia menegaskan pemerintah perlu memperhatikan berbagai faktor inflasi yang datangnya dari luar negeri seperti kenaikan harga komoditas dan konflik geopolitik di tingkat global.

Di sisi lain, Nuri mengatakan target pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,3 persen yoy dalam RAPBN 2023 tergolong realistis, meskipun harga komoditas global diperkirakan mulai kembali normal pada tahun depan.

Menurut dia, penerimaan negara, baik dari pajak maupun non pajak akan terus berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2023.

“Pertumbuhan ekonomi juga didorong oleh konsumsi yang cenderung naik,” ujar Nuri.

Seperti diketahui, pada pidato kenegaraan hari ini, Presiden Joko Widodo menargetkan inflasi sebesar 5,3 persen yoy dalam RAPBN 2023. Angka ini lebih kecil dibandingkan outlook 2022 yang di kisaran 4,0 persen hingga 4,8 persen yoy.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: As'ad Syamsul Abidin