Imbasnya pun telah sampai ke bisnis logistik dan e-commerce. “Sebab itu, pemerintah perlu cermat menghitung kenaikan tarifnya. Tak cuma tarif per kilometer yang patut dipertimbangkan, kemampuan konsumen juga harus dihitung,” ujar Heru.
Heru mengatakan keberadaan layanan aplikasinya di era disrupsi memang membantu mobilitas konsumen. Selain tarif per kilometer yang jelas, mereka mudah dipesan menggunakan aplikasi yang tersedia.
Dengan begitu, konsumen bisa mendapat layanannya kapan saja dan dimana saja.
Namun, kata Heru melanjutkan, saat ini konsumen sebenarnya sudah tak lagi mendapat layanannya dengan harga murah seperti dahulu. Harga yang seolah-olah murah hanya berlaku saat promosi berlangsung.
Ketika tanpa promosi, alias tarif dalam kondisi normal, besarannya sudah cukup sesuai baik bagi konsumen maupun mitra pengemudi.
“Kalau (tarif) mau dinaikkan terlalu mahal, kemudian konsumen keberatan, bukan tak mungkin mereka akan beralih ke moda transportasi lain. Order mereka pun turun drastis,” kata dia.
Ia menyarankan pemerintah sebaiknya mengajak semua pihak, termasuk aplikator dan konsumen, untuk ikut memberi masukan terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Perhubungan yang mengatur tentang tarif ojek daring sebelum akhirnya diterapkan.
Artikel ini ditulis oleh: