Warga Bukit Duri menggelar aksi unjuk rasa menjelang rencana penggusuran di permukiman warga, Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Rabu (28/9/2016). Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memastikan tidak akan menunda upaya relokasi warga karena sudah sesuai prosedur yang sudah dilakukan Pemprov DKI Jakarta.

Jakarta, Aktual.com – Pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna memandang bahwa Jakarta membutuhkan pembenahan dalam tata ruang kotanya. Tapi pembenahan kota menurutnya harus dilihat secara utuh dalam upaya merevitalisasi kota.

Sampai saat ini, Pemerintah DKI hanya fokus pada upaya revitalisasi fisik seperti pembangunan ruang terbuka, normalisasi Ciliwung dan lain-lain. Padahal menurut Yayat, untuk merevitalisasi kota, lanjut Yayat, tidaklah melulu soal aspek fisik saja, melainkan juga harus diperhatikan aspek ekonomi dan sosial.

“Revitalisasi itu kan ada tiga. Pertama revitalisasi fisik, dibenahi , ditertibkan dan ditata fisiknya. Tapi jangan lupa juga untuk melakukan revitalisasi ekonomi dan sosial,” ujar Yayat kepada Aktual, di Jakarta, Senin (2/1).

Yayat melihat saat ini penggusuran yang dibarengi relokasi masih belum menyelesaikan masalah karena timbul masalah lain yang berkaitan dengan lapangan kerja dan kemiskinan.

Hal ini dikarenakan masyarakat tidak dapat melakukan kegiatan ekonomi yang biasa dilakukan sebelumnya direlokasi. Masyarakat yang direlokasi, disebut Yayat, banyak yang telah kehilangan mata pencahariannya karena lingkungan baru rusun tidak mendukung profesi sebelumnya. Ia mencontohkan nelayan di kampung nelayan menjadi lebih susah ekonominya karena tidak lagi dapat mencari ikan akibat jauhnya lokasi rusun yang ditinggali dengan pantai.

“Seakan-akan dengan dirumah susunkan masalah sudah selesai. Faktanya menunjukkan yang direlokasi, hampir sebagian besar tidak mampu bayar,” ungkap Yayat.

Dalam hal ini, tambah Yayat, Pemerintah DKI telah menihilkan aspek humanisme karena melakukan penggusuran dan relokasi secara paksa, tanpa memperhatikan aspek ekonomi dan sosial.

“Dulu di kampung mereka ada RT, RW, ada organisasi, ada pertemanan. Kalau di rumah susun kan kecenderungannya transaksional, yang bisa bayar ya tinggal, yang enggak bisa bayar ya tinggal,” ujar Yayat.

Terhitung terdapat enam rumah susun sewa (rusunawa) yang menjadi tempat relokasi bagi masyarakat yang tergusur dari pemukimannya. Keenam rusunawa tersebut adalah Rusunawa Marunda dan Rusunawa Cilincing di Jakarta Utara, serta Rusunawa Pulogebang, Rusunawa Rawabebek, Rusunawa Cipinang Besar Selatan (Cibesel) dan Rusunawa Jatinegara Barat yang berada di Jakarta Timur.

(Laporan: Wildan)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka