Jakarta, aktual.com – Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Felia Primaresti mengatakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 176/PUU-XXII/2024 terkait ketentuan mundur calon anggota legislatif (caleg) merupakan langkah untuk memperkuat demokrasi.
Adapun dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa caleg terpilih dapat diganti jika yang bersangkutan mundur karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum, bukan mundur untuk mengikuti kontestasi pilkada.
“Putusan MK ini bisa dilihat sebagai langkah maju dalam memperkuat demokrasi yang lebih berintegritas karena mencegah caleg terpilih menjadikan kursinya sebagai batu loncatan ke eksekutif,” kata Felia dalam keterangan diterima di Jakarta, Rabu (26/3).
Selain itu, Felia menilai putusan tersebut krusial mengingat caleg terpilih seharusnya mengemban amanat dan konsisten dengan pilihan yang sudah dijalankan. Terlebih, konstituen sudah menyumbangkan suara untuk caleg dimaksud.
Namun demikian, dia menyoroti sisi hak politik individu dengan adanya putusan MK ini. Menurut Felia, putusan tersebut dapat dianggap sebagai pembatasan karena menghalangi seseorang untuk mencalonkan diri dalam pilkada.
Oleh sebab itu, dia berpendapat, penyelenggara pemilu maupun pilkada harus mempersiapkan peraturan turunan yang jelas dan tegas untuk menindaklanjuti putusan MK. Penyelenggara juga dinilai perlu menyosialisasikan peraturan turunan itu kepada peserta kontestasi politik nantinya.
Di sisi lain, Felia menyebut catatan dan rekomendasi riset TII selaras dengan penegasan MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 176 tersebut, yakni penting bagi partai politik melakukan reformasi internal untuk memperkuat kelembagaannya, termasuk dalam hal kaderisasi dan rekrutmen.
“Dalam hal ini, partai harus serius melakukan menyiapkan kader selain yang sudah tembus di legislatif, agar kualitas calon tetap bisa terjaga. Jika tidak ada mekanisme regenerasi dan kaderisasi serta rekrutmen kepemimpinan yang baik, dampaknya bisa negatif bagi kompetisi politik lokal,” imbuhnya.
Kader partai dinilai perlu memiliki arah dan karier politik yang jelas, misalnya dalam hal komitmen mengikuti kontestasi politik tertentu. Menurut dia, akan tidak elok serta terkesan pragmatis dan “coba-coba saja” dalam mengikuti pemilu legislatif jika caleg terpilih mengundurkan diri setelah mendapat suara mayoritas pemilih.
Lebih lanjut, Felia mengatakan untuk menyeimbangkan antara menjaga integritas pemilu dan menjaga kebebasan politik warga, harus ada alternatif atau mekanisme yang mengakomodasi hal tersebut.
”Misalnya, jika seorang caleg terpilih ingin maju di pilkada, mereka harus mundur dengan sanksi tertentu seperti denda atau larangan mencalonkan diri dalam periode tertentu jika kalah. Namun, mekanismenya juga harus dipikirkan agar jelas, tegas, dan efektif,” Felia menambahkan.
Sebelumnya, Jumat (21/3), Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan tiga mahasiswa Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sayyid Ali Rahmatullah, Tulungagung, Jawa Timur, yaitu Adam Imam Hamdana, Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum.”
Dalam pertimbangan hukum, MK menegaskan caleg terpilih yang mengundurkan diri karena hendak mencalonkan diri dalam pilkada merupakan hal yang melanggar hak konstitusional pemilih sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Menurut MK, caleg terpilih yang mundur karena ikut pilkada menyebabkan suara pemilih menjadi tidak terlindungi. Penghargaan terhadap suara pemilih menjadi hilang karena pilihannya tidak dapat diwujudkan sehingga dipaksa menerima calon pengganti yang bukan pilihannya.
Mahkamah menilai, pengunduran diri caleg terpilih dapat dibenarkan sepanjang hal itu dimaksudkan untuk menduduki jabatan yang tidak dipilih melalui pemilu, tetapi jabatan yang berdasarkan pengangkatan dan/atau penunjukan seperti menteri, duta besar, atau pejabat negara maupun pejabat publik lainnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain