Pengamat Hukum tata Negara Margarito Kamis

Jakarta, Aktual.com – Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis, menilai Presiden harus mencabut Kepres 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Teluk Jakarta, jika ngotot ingin melanjutkan proyek tersebut. Pasalnya, yang direklamasi adalah pantai bukanlah teluk yang dinilai ambigu pada segi hukum.

“Ini reklamasi dasarnya Kepres 52 tahun 1995. Ini memerintahkan reklamasi pantai utara Jakarta. Kalau perintahnya reklamasi pantai utara itu segi hukumnya bagaimana,” ujar Margarito di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/10).

Kedua, yang aneh adalah dari segi kelembagaan. Menurutnya, reklamasi teluk Jakarta otorisasinya adalah kewenangan pemerintah pusat. Dimana, reklamasi diserahkan kepada badan pelaksana yang dibentuk pemerintah pusat yang dikaji oleh Bappenas. Sementara, pemerintah provinsi yang membuat tata cara dan peraturan reklamasi.

“Tapi ini otorisasinya ke gubernur. Gubernur diperintahkan ke sejumlah kelembagaan, ada badan pengarah badan pelaksana dan tim pengendali. Di kepres perintahnya bappenas, setneg, itu beri pengarahan pada kelembagaan, beri arahan badan pelaksana. Kalau bappenas sadar itu ada masalah, perintahnya reklamasi dilaksanakan oleh badan pelaksana dan pihak ketiga. Apakah badan pelaksana itu ada?,” katanya.

“Merekalah yang dapat melaksanakan kerjasama dengan pihak ketiga. Gubernur dalam perintah kepres 52 membuat peraturan dan tata cara reklamasi. Ada atau tidak peraturan ini ?,” tambahnya.

“Dari segi itu soal kelembagaan ada masalah. Gubernur bertanggung jawab bentuk tim pelaksana, pengarah pengendali dan buat pergub soal syarat dan tata cara,” imbuhnya lagi.

Margarito pun menyalahkan bila area yang direklamasikan itu bukanlah teluk, tapi pantai. Karenanya, Gubernur DKI Jakarta saat ini berhak menolak proses reklamasi.

“Apakah itu yang dilakukan? Itu bikin pulau sendiri bukan meluaskan wilayah pantai sampai 8 meter. Perintahnya A, dijalankan B. Seolah olah perintah kepres padahal perintah kepres lain. Karena itu, Anies (Baswedan, Gubernur DKI) yang diperintahkan, berhak menolak melanjutkan reklamasi,” katanya.

“Perintahnya bukan seperti yang diperintahkan sekarang. Dari segi hukum Anies punya alasan hukum yang cukup untuk tidak melanjutkan. Sama dengan tunduk dengan kepres 52,” sambungnya.

Ia pun merasa aneh dengan kepres 52 tahun 1995. Karenanya, Margarito menantang presiden Joko Widodo untuk mencabut kepres tersebut.

“Sebagai orang hukum, andai pemerintah punya keberanian, cabut saja kepres 52. Dari segi tata negara, Karena kepres kan presiden punya kewenangan untuk cabut. Presiden sah punya kewenangan kepres ganti kepres lain, untuk mengatur kewenangan. Alihkan seluruh kewenangan itu dan tarik,” pungkasnya.

 

Nailin Insaroh

Artikel ini ditulis oleh: