Warga mengamankan barang-barang mereka saat eksekusi Penertiban kawasan Pasar Ikan Luar Batang di Jalan Pasar Ikan, RW04, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, pada Senin (11/4/2016). Pemprov DKI Jakarta membongkar sebanyak 853 bangunan di kawasan tersebut dalam rangka revitalisasi kawasan wisata Sunda Kelapa, Museum Bahari, dan kawasan Luar Batang.

Jakarta, Aktual.com – Koodinator warga Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Upi Yunita mengatakan, kalau dalam penggusuran Pasar Ikan dan Akuarium pada Senin, 11 April 2016 lalu, Pemprov DKK sudah seperti penjajah Belanda yang mengusir warga dengan paksaan.

“Relokasi sudah kaya zaman penjajahan Belanda, dilakukan oleh 4209 personil (TNI, Polri dan Satpol PP). Kejam sekali. Ada apa dengan TNI, dengan polisi. Mereka dulu dalam kontrak politik (kampanye Jokowi Gubernur) menang mutlak dan bilang bahwa rumah kumuh akan di tata baik,” katanya saat berdialog dengan Ketua DPRD DKI, Prasetio Edi Marsudi, Gedung DPRD, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (18/4).

Upi menceritakan, saat penggusuran Senin (11/4) lalu, pihak aparatus telah melakukan tindakan represif dengan mengusir warga yang bertahan untuk angkat kaki tidak menghalangi langkah mereka untuk meratakan ratusan bangunan di Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara.

“Kita ingin menangguhkan hingga lebaran tapi sia-sia. Kami masih berjilbab. Masih menggunakan mukena, lima menit kemudian barang kami diseret habis,” tuturnya.

Selain itu, Upi juga mengatakan, kalau sebagian warga telah memiliki bukti kepemilikan tanah, sehingga layak mendapatkan ganti rugi dari pemerintah

“Kami selaku warga jangan dianggap kami pematok liar, kami punya girik, punya PBB, ini hak kami yang tiap tahun membayar pajak. Kembali ke UU agraria, pasal 18, ada ganti rugi.
Kami sah secara mutlak punya surat-surat,” tegasnya.

Dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebutkan, ‘Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dati rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang’.

Sebab itulah, lanjut Upi, sebagian warga yang bertahan yang berjumlah sekitar 300 KK tidak ingin berpindah saat penggusuran terjadi. Dan hingga hari ini, mereka tetap tidak ingin menerima rusun yang sudah disiapkan oleh Pemprov DKI.

“Diganti rusun kami tidak mau. Diganti rusun kami mau karena ada intimidasi,” papar dia.

Sebab itulah, sambung Aktivis Sosial, Ratna Sarumpaet, dirinya meminta kepada pihak DPRD DKI untuk menyediakan tempat berteduh sementara nagi warga yang menunggu proses ganti rugi dari pemerintah.

“Secara Undang-undang ada dong kompensasi pembayaran ajaknya atau bangunannya.
Butuh difasilitasi baik secara moral baik secara teknis. Saya meminta 21 tenda, untuk ditinggali warga sambil menunggu ganti rugi,” tutup Ratna.

Artikel ini ditulis oleh: