Ia melanjutkan, alasan kedua karena gula rafinasi selalu tersedia dari Januari sampai Desember. Sedangkan jika menggunakan gula lokal, mesti menunggu musim panen yang pasokannya tidak selalu tersedia.
Pengusaha juga mengeluhkan masalah harga. Suyono menyebutkan, harga gula lokal bisa lebih mahal hingga Rp2.000 per kilogramnya dibandingkan gula rafinasi. Jadilah pengusaha lebih memilih gula rafinasi karena lebih murah.
Pilihan menggunakan gula rafinasi impor, ditegaskannya, tidak serta-merta menunjukkan para pengusaha anti produk dalam negeri. Menurut Suyono, pengusaha siap membeli gula dalam negeri jika kualitasnya sudah sama dengan gula rafinasi. industri, terutama UMKM dihadapkan pada dilema harga gula impor yang lebih murah dan lebih berkualitas.
“Kami siap beli gula dalam negeri kalau kualitasnya sudah sama dengan rafinasi. Nasionalisme saya tidak perlu dipertanyakan lagi. Saya ini anak petani miskin asli Ciamis, saya juga ingin petani tebu Indonesia sejahtera,” jelasnya.
Sementara itu, peneliti muda Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman mengungkapkan, menekan tingginya angka impor gula bukan pekerjaan yang mudah. Ini mengingat konsumsi dalam negeri sangatlah tinggi. Pemangkasan impor gula hanya dapat dilakukan apabila produksi gula dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan nasional dengan kualitas baik.
Ia berpendapat, jika produksi gula dalam negeri mampu memenuhi atau setidaknya mendekati angka kebutuhan, kebijakan impor gula dipastikan dapat ditekan. Namun untuk saat ini, jika impor gula terus ditekan, imbasnya alkan membuat harga gula di pasaran melambung.
Artikel ini ditulis oleh: