Jakarta, Aktual.com – Pelaporan 34 pelaku usaha impor bawang putih oleh Kementerian Pertanian (Kementan) kepada Komisi IV DPR RI dan Satgas Pangan Polri disorot banyak pihak.
Pelaporan yang dilakukan lantaran para pengusaha ini mengimpor tanpa mengantungi Rekomendasi Impor Produk Horlikuktura (RIPH) dan berpegang kepada Peratuan Menteri Perdagangan (Permendag) No.27 Tahun 2020 dinilai menunjukkan ketidaksinkronan kebijakan antar kementerian dan ego sektoral yang mengorbankan pelaku usaha.
Peneliti The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan hal ini bukan saja menunjukkan tidak adanya koordinasi lintas kementerian untuk satu kebijakan pemerintah. Ngototnya Kementan melaporkan pengusaha di saat Badan Karantina Pertanian (Barantan) sendiri mengizinkan impor tersebut, adalah hal janggal yang patut diselisik. Apalagi, Permendag tersebut ditujukan sebagai relaksasi untuk mempercepat impor saat dibutuhkan, di kala proses RIPH yang berjalan tidak cepat.
”Kan memang ada relaksasi dari Kemendag. Lantas, kenapa ada lapor melapor, ini menunjukkan tidak ada koordinasi,” kata Rusli, Kamis (25/6/2020).
Rusli mengaku mahfum, bahwa 34 importir itu mengimpor bawang putih pada saat masa pembebasan Surat Persetujuan Impor (SPI) atau izin impor yang diterapkan Kementerian Perdagangan sejak 17 Maret hingga 31 Mei 2020. Namun, di sisi lain RIPH tetaplah berlaku.
Aturan relaksasi impor tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2019. Aturan ini menyebutkan ketentuan impor bawang bombai dan bawang putih dikecualikan dari Persetujuan Impor dan Laporan Surveyor. Namun, kebijakan ini diberlakukan sementara, yaitu hingga 31 Mei 2020. Mendag Agus Suparmanto menyebutkan, kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden untuk ketersediaan serta menjaga harga barang dan bahan pangan pokok, termasuk bawang putih dan bawang bombai yang harganya meroket beberapa waktu lalu.
Menurut Rusli, kasus ini seperti nasi sudah menjadi bubur. Pasalnya, bawang putih sudah masuk di dalam negeri di tengah wabah Covid-19. Untuk itu, Kementan perlu memeriksa bawang yang sudah masuk tersebut di pasaran.
“Menurut saya, Kementan dan pihak terkait (Badan Karantina) mengambil sampel bawang putih dari ke 34 importir tersebut, cek kualitasnya apakah memenuhi syarat kesehatan RIPH? Jika ada yang melanggar standar standar kualitas dan keamanan, beri sanksi. Bukan berarti tanpa RIPH, bisa mengimpor bawang dengan kualitas seadanya, atau kualitas buruk,” tuturnya.
Menanggapi laporan tersebut, Ketua Pusbarindo Valentino dalam siaran persnya mengatakan, pada Maret 2020 lalu Pusbarindo sudah mengingatkan atas pembebasan SPI dan LS utk importase bawang putih berpotensi rawan penyalahgunaan.
“Kita sudah ingatkan relaksasi itu jelas merusak semangat Wajib Tanam bagi para pelaku usaha (importir) yang patuh dan taat terhadap UU dan hukum. Dan ternyata kekhawatiran kamipun terjadi,” ujarnya.
Valentino meminta Badan Karantina dan Ditjen Hortikultura yang berada dalam satu atap yaitu Kementerian Pertanian, semestinya kompak dan satu sikap. Jika memang terjadi pelanggaran, lanjutnya, maka produk bawang tersebut mesti ditahan tidak boleh dilepas atau beredar.
“Jika sikap Ditjen Hortikultura konsisten dengan amanah UU No. 20 Tahun 2010 yaitu menjamin keamanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia atas produk pangan impor. Barantan tidak perlu ragu bertindak tegas sesuai aturan dan UU atas produk pangan yang tidak dilengkapi dokumen resmi,” tegasnya.
Dia menyesalkan, bawang putih impor tanpa dokumen RIPH berarti lolos pula dari kewajiban Wajib Tanam sesuai ketentuan Permentan No.39 dan Permentan No.46 Tahun 2019. Dampak dari pelanggaran hukum ini, lanjut Valentino, jelas bahwa diantara para pelaku usaha sudah terjadi persaingan usaha yang cacat hukum.
Hal senada diungkap Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo. Ia menilai impor untuk memenuhi kebutuhan nasional adalah hal wajar. Untuk itulah, kata dia, setiap impor harus mendapatkan izin rekomendasi dari Kementan. Ketika ada izin yang di keluarkan kemudian tidak mengindahkan atau tidak memenuhi aturan perundang-undangan maka berarti ada penyimpangan. Di saat sama, dia menilai ada ketidakkompakan yang jelas terlihat dari kebijakan itu.
“Kalau saya lihat masalah ini harus dibangun komunikasi yang kuat antara Kemendag dan Kementan bahwa UU itu dibuat untuk dijalankan, bukan untuk dilanggar.. Kalau pemerintah tidak kompak berbahaya,” tuturnya.
Firman mengatakan, jika pelaku usaha melanggar, maka pelanggarannya pun harus dipastikan oleh penegak hukum. “Mereka kan melakukan sesuai persyaratan dan prosedur. Ini harus clear. Kecuali 34 pelaku usaha ini melanggar dan melakukan kongkalingkong, melakukan penyuapan, penyogokan. Lalu ada buktinya, berarti kasus pidananya,” tuturnya.**