Jakarta, Aktual.com — Kopi merupakan salah satu minuman yang menjadi primadona di kalangan masyarakat, karena rasanya yang khas serta harumnya yang mengundang selera.

Khususnya, pada kopi luwak yang sedang menjadi sorotan karena pengolahannya yang menarik yakni biji kopinya sendiri merupakan hasil dari buangan kotoran luwak disamping rasanya yang tak kalah gurih dan khas dibandingkan kopi lainnya.

Namun, sejauh ini sejumlah pihak ada yang beranggapan bahwa hukum dari mengonsumsi kopi luwak ini ada yang menyebutkan “halal” atau “haram”.

Tergantung dari seperti penilaian dan sudut pandang yang melihatnya. Dalam hal ini beberapa Ulama, termasuk diantaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sebagian ormas Islam menyatakan kopi luwak halal untuk dikonsumsi.

Namun, sebagian besar Ulama lainnya mengatakan hukumnya haram untuk dikonsumsi, karena tergolong benda najis. Berikut, kajian agama yang dihadirkan Aktual.com.

Pandangan Ulama Terkait Hukum Kotoran Hewan

1. Pendapat Jumhur Ulama

Dalam pandangan Mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah, semua kotoran hewan adalah benda najis, baik hewan itu halal dagingnya maupun haram dimakan.

Dan, yang disebut dengan kotoran hewan (ghaith) adalah semua benda yang keluar lewat kemaluan, baik berupa benda cair, padat, maupun gas.

2. Pendapat Imam Hambali Tentang Kotoran
Menurut pendapat mazhab Hambali, untuk hewan yang dagingnya halal dimakan, air kencing dan kotorannya tidak najis. Kalau air kencing atau kotorannya tidak najis, tidak ada `illat untuk mengharamkannya.

Dengan kata lain, bisa saja kopi luwak ini dianggap tidak haram karena dalam pandangan mazhab Hambali kotoran luwak bukan benda najis.

Dasar pengambilan hukum atas ketidaknajisan kotoran hewan yang halal dagingnya adalah hadits berikut.

قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ بِلِقَاحٍ وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا. متفق عليه

Beberapa orang dari kabilah ‘Ukel dan Urainah singgah di kota Madinah. Tidak berapa lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mendatangi onta-onta milik Nabi yang digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu onta-onta tersebut. (HR. Bukhari Muslim)

3. Pandangan Majelis Ulama Indonesia

Berbeda dengan penilaian kebanyakan orang yang mengharamkan kopi luwak karena dinilai najis, Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpandangan bahwa kopi luwak itu “halal”.

Dalam fatwanya disebutkan bahwa memang awalnya biji kopi itu terkena najis, sehingga hukumnya menjadi mutanajjis, lantaran keluar dari anus luwak.

Mereka membedakan antara benda najis dengan benda yang mutanajjis. Benda najis adalah benda itu sendiri yang najis. Walaupun dicuci sampai bersih tetap saja benda itu masih menjadi benda najis. Sedangkan benda yang mutanajjis sesungguhnya benda yang suci namun terkena najis. Apabila dicuci hingga bersih dan hilang semua najis yang menempel, maka benda itu adalah benda suci.

Dalam kasus biji kopi yang dimakan oleh luwak, mereka berpendapat bahwa biji keluar dari anus luwak bukan sebagai benda najis, tetapi sebagai benda mutanajjis. Sehingga bila biji kopi itu dicuci dengan bersih, sehingga semua feses atau kotoran yang najis itu hilang, maka biji kopi itu menjadi bersih dan suci kembali.

Dan karena hukumnya bukan benda najis, maka tidak terlarang untuk mengkonsumsinya sebagai minuman.

Hal itupun didasarkan oleh keterangan di beberapa kitab fiqih, khususnya fiqih As-Syafi’iyah, bahwa biji yang dimakan hewan dan keluar dalam keadaan yang masih utuh, maka tidak termasuk najis.

Oleh karena itu, hukum biji kopi tersebut tidak dianggap sebagai najis, seperti yang difatwakan oleh Al-Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab jilid 2 hal 573 Cet. Dar Fikr.

Redaksinya yang tertulis di dalam kitab tersebut adalah :

قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللّٰهُ : إِذَا أَكَلَتِ الْبَهِيْمَةُ حَبًّا وَخَرَجَ مِنْ بَطْنِهَا صَحِيْحًا ، فَإِنْ كَانَتْ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةً بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ ، فَعَيْنُهُ طَاهِرَةٌ لٰكِنْ يَجِبُ غَسْلُ ظَاهِرِهِ لِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ

“Para sahabat kami (ulama madzhab Syafi’i) semoga Allah merahmati mereka mengatakan: ‘Jika ada hewan memakan biji tumbuhan kemudian dapat dikeluarkan dari perut, jika kekerasannya tetap dalam kondisi semula, yang sekiranya jika ditanam dapat tumbuh maka tetap suci tetapi harus disucikan bagian luarnya karena terkena najis”

Namun perlu dicermati, apabila biji itu hancur dicerna oleh hewan itu, mereka sepakat menyatakan biji itu sebagai najis. Dan hal ini disepakati oleh para ulama mazhab Asy-syafi’iyah. Pendeknya selama biji itu keluar dalam keadaan utuh, maka hukumnya tidak najis tetapi mutanajjis. Kalau dicuci bersih dan hilang fesesnya, maka biji itu tidak najis.

Lantas, yang menjadi masalah adalah jika dari sekian banyak biji kopi itu ada yang pecah, hancur atau keluar dalam keadaan tidak utuh, maka hukumnya najis dan haram dikonsumsi.

“Kalau kopi luwak kan sudah ada halal MUI ya, insya Allah halal kendati dari kotoran binatang karena sudah melalui proses yang benar dan binatangnya pun adalah binatang yang halal tidak najis,” ujar Ustadzah Nebeng Hasanah, MA saat ditanyai perihal kehalalan kopi luwak. Wallahu a’lam bish shawab.

Artikel ini ditulis oleh: