Jurnalisme kebencanaan berperan penting dalam memberikan informasi yang akurat, proporsional, dan bersifat kondusif dalam memberitakan bencana. Jurnalisme kebencanaan diharapkan mendorong masyarakat untuk siap sebelum terjadinya bencana.

Ada tiga aspek yang bisa diliput media dari suatu bencana. Pertama, pra-bencana, yakni hal-hal yang ada sebelum terjadi bencana (persiapan warga atau instansi tertentu dalam mengantisipasi bencana ini biasanya jarang diliput). Kedua, saat bencana, yakni hal-hal ketika sedang terjadi bencana (biasanya ini yang diliput secara dramatis). Dan ketiga, pasca bencana, yakni hal-hal sesudah terjadi bencana (misalnya, pembangunan kembali daerah yang luluh lantak dilanda bencanjua, kembalinya pengungsi ke desa asalnya, dan sebagainya)

Masalahnya, jurnalisme yang banyak dipraktikkan di media massa saat ini adalah yang banyak memberitakan saat bencana, bahkan secara dramatis pula. Tetapi media tersebut kurang memberitakan hal-hal yang menyangkut pra-bencana (langkah-langkah yang dilakukan sebelum terjadinya bencana), khususnya mitigasi bencana. Hal-hal di tahap pasca bencana juga kurang disentuh.

Padahal, salah satu bidang yang menjadi perhatian Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) adalah mitigasi bencana. Yakni, bagaimana sosialisasi kepada masyarakat umum, agar mereka bisa mewaspadai atau mengantisipasi bencana sebelum terjadi.

Masyarakat harus mengerti apa saja yang harus disiapkan sebelum terjadi bencana dan apa saja yang perlu dilakukan manakala terjadi bencana. Karena pentingnya sosialisasi ini, maka jurnalisme kebencanaan dianggap vital bagi mitigasi bencana.

Menyadari hal tersebut, Direktorat Penanganan Daerah Rawan Bencana Kemendesa PDTT pernah mengadakan pelatihan jurnalisme kebencanaan, yang dikemas dengan nama Bimbingan Teknis Publikasi Penyiapan Media untuk Masyarakat Tangguh Bencana. Acara ini diselenggarakan pada Mei dan Juni 2016 di Makassar dan Batam.

Pesertanya adalah dari staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) atau dinas terkait, internal Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah tertentu (PDTu), dan unsur masyarakat peduli bencana. Pelatihan semacam ini diharapkan bisa memperkuat jurnalisme kebencanaan, yang lebih memperhatikan isu-isu mitigasi bencana, bukan Cuma heboh ketika sudah terjadi bencana.

Selain itu, salah satu aspek dari jurnalisme kebencanaan adalah hal yang sekarang cukup semarak, yakni fenomena jurnalisme warga (citizen journalism). Peran jurnalisme yang dulu formal dan dilakukan oleh insan media, kini bisa digantikan oleh warga lewat jurnalisme warga.

Dengan semaraknya jurnalisme warga, keluasan jaringan informasi bisa didapatkan, begitu pula kecepatan dan akurasi. Jika peran ideal jurnalisme bencana dapat dijalankan oleh masyarakat, informasi tentang suatu persoalan bisa lebih berimbang. Informasi tidak lagi dimonopoli oleh media yang memiliki beban kepentingan bisnis.

 Sayangnya, peran ideal jurnalisme warga belum bisa dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat. Mereka belum sepenuhnya memahami etika jurnalistik, mereka juga belum memiliki kemampuan menulis, serta mereka juga terkadang abai terhadap akurasi informasi. Hal-hal semacam itu belum banyak didapatkan dari produk-produk jurnalisme warga, sehingga publik pada akhirnya masih mengandalkan media profesional mainstream. ***

  • Ardan Ardiansyah adalah tenaga ahli di Setditjen PDTu, Kemendesa.

Artikel ini ditulis oleh: