Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, saat diskusi bertajuk ‘Menggali Freeport, Diantara Kepentingan Asing dan Kedaulatan Indonesia’ di WarunKomando, Tebet, Jakarta, Minggu (22/11). Freeport merupakan wujud VOC gaya baru dan sedang melakukan mapping kekuatan di Indonesia. Elit politik bukannya menjadi nasionalis yang ingin bisa menangkis serangkaian asimetris, namun justru berebut menjadi komprador dan perlu diingat penjajahan jaman sekarang tidak hanya menggunakan militer, namun bisa dari sektor energi maupun pangan. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Pengamat Ekonomi Politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menyebut, kinerja perbankan plat merah di bawah rezim Joko Widodo (Jokowi) terus memperbanyak utang, terutama ke luar negeri.

Utang-utang itu diketahui publik untuk membiayai proyek infrastruktur, tapi ternyata utang tersebut hanya untuk dikucurkan kepada para taipan guna ekpansi bisnisnya dan menjadi bancakan mereka.

“Inilah skandal keuangan terbesar dalam era pemerintahan Jokowi. Dimana Bank BUMN sebagai tumbal bagi sektor swasta untuk mendapatkan pinjaman dari China. Skandal itu disertai dengan kebohongan, bahwa pinjaman tersebut akan digunakan untuk membangun infrastruktur, namun faktanya digunakan untuk tujuan lain lain,” jelas Daeng kepada Aktual.com, Kamis (1/6).

Skandal utang yang dia maksud adalah, kucuran utang dari China Development Bank (CDB) tahun lalu, kepada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank BNI (Persero) Tbk, dan PT Bank BRI (Persero) Tbk masing-masing US$ 1 miliar. Ketiga bank itu dipaksa ngutang dari China untuk membiayai taipan Indonesia yang tengah sekarat.

“Pinjaman dari China senilai US$ 3 miliar dibagi-bagikan kepada taipan dan oligarki penguasa nasional untuk merestrukturisasi utang-utang sampah mereka,” kecam Daeng.

Dan olleh para taipan, kata dia, utangan dari China itu digunakan untuk memulihkan kondisi keuangan mereka yang terkena serangan penurunan harga komoditas global dan ancaman kebangkrutan.

“Dan dana pinjaman CBD itu, oleh Bank Mandiri ke debitur kakapnya hanya untuk membeli saham PT. Newmont Nusa Tenggara. Padahal perusahaan tambang itu mau tutup dan gagal mengembangkan operasinya di Nusa Tenggara Barat (NTB) itu,” papar dia.

Perilaku bank BUMN seperti itu, sebetulnya memantik tanda tanya publik, mengapa para taipan swasta ini tidak meminjam sendiri langsung ke China? mengapa harus menggunakan tangan bank pemerintah?

“Ternyata jawabanya, perusahaan-perusahaan swasta dan bank-bank swasta sudah berada pada posisi yang sulit mendapatkan pinjaman. Sehingga menggunakan ‘tangan’ lain, yaitu bank BUMN untuk ngutang,” tegas dia.

Padahal, jika dikaji, kata dia, utang perbankan BUMN sudah sangat besar. Dan bank-bank milik pemerintah ini terancam kolaps.

“Apakah memang ini maunya pemerintah? Agar bank-bank dan perusahaan swasta milik para taipan semakin berjaya di Republik ini, sementara bank-bank pelat merah malah kehilangan kredibilitasnya,” pungkas dia.

Pewarta : Busthomi

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs