Pearson bahkan datang ke satu masjid lokal dan berteman. Ia bergabung dengan mereka selama berbuka puasa, atau iftar, dan menikmati mempelajari kebudayaan Islam.
“Saya puasa selama Tantangan Ramadan, dan sejauh ini saya kira itu baik buat saya,” kata Pearson pada hari ke-15 Ramadan.
“Itu mungkin menjadi agak sulit, tapi itu dapat benar-benar mengajarkan kamu disiplin diri sendiri.”
“Banyak perempuan mengeluh bahwa ini penindasan, tapi saya tidak setuju sepenuhnya. Saya memandang hijab sebagai kebebasan, pembebasan,” kata Siobhan Welch.
“Saya memiliki kendali mengenai siapa yang memandang saya, berapa sering mereka melihat saya. Saya memiliki kekuasaan atas tubuh saya, bukan orang lain.”
“Berhenti dan berpkirkan sebentar sebelum kamu menghakimi saya,” kata perempuan yang berusia 47 tahun tersebut kepada Anadolu Agency. “Saya telah memakai hijab setiap hari selama lebih (dari empat) tahun sekarang. Ini bukan cuma perintah agama, sebab itu diharuskan oleh agama saya. Tapi saya merasa bahwa melakukannya memperlihatkan penghormatan, cinta, kerendahan hati di hadapan Tuhan.”
Sania Rukhsar Zaheerudin, mahasiswi Muslimah medis yang berusia 25 tahun yang biasanya tidak memakai hijab, ikut dalam tantangan itu dan memandangnya dengan cara yang persis sama.
“Di dunia tempat Islamfobia ada, ini seperti alat kekuatan buat perempuan Muslimah. Ini membantu kita menjadi lebih yakin, memberi kita pendapat secara global, menghilangkan ketakutan tidak diterima di masyarakat,” katanya.
“Perempuan Muslimah kadangkala diproyeksikan sebagai tertindas, tertekan dan direndahkan oleh dunia zaman modern. Dan karena konsep Islamfobia menyebar seperti kebakaran hutan, penting buat kita, perempuan Muslimah, merasa sama dengan yang lain,” ia menambahkan.
Artikel ini ditulis oleh: