Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan - Alih Kelola Blok Mahakam. (ilustrasi/aktual.com - foto/antara)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan - Alih Kelola Blok Mahakam. (ilustrasi/aktual.com - foto/antara)

Jakarta, Aktual.com – Menteri ESDM, Ignasius Jonan menyampaikan perubahan skema kontrak migas dari Production Sharing Contract (PSC) cost recovery kepada PSC Gross Split bertujuan memenuhi asas keadilan dan efisiensi dalam pengelolaan sektor migas Indonesia.

Dia menuturkan bahwa tidak ada maksud buruk dari pemerintah untuk merugikan pihak manapun, bahkan dia akan menghormati kontrak yang sedang existing dan hanya memberlakukan regulasi baru kepada kontrak baru dan kontrak perpanjangan.

“Tidak ada maksud pemerintah merugikan satu pihak manapun, ini supaya berkeadilan dan efisiensi. Kalau bapak pergi naik pesawat dengan biaya cost recovery, pasti pilih pesawat yang mahal, tapi kalau menggunakan uang pribadi, pasti mikir-mikir. Ini biar efisien,” katanya di kawasan Kuningan Jakarta, Senin (19/12).

Perlu dipahami bahwa sitem PSC cost recovery, bagi hasil minyak untuk negara terhitung cukup besar yakni 85 persen, sisanya 15 persen untuk kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Namun selain mendapat 15 persen tersebut, KKKS juga akan mendapatkan dana ganti rugi (cost recovery) atas segala aktivitas produksi, yang dipotong dari 85 bagian negara.

Berbeda dengan sistem PSC Gross Split. Berdasarkan keterangan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar. Dalam skema gross split, negara tidak mau tahu urusan biaya aktifitas dan produksi, termasuk permasalahan teknologi mahal seperti apa yang digunakan operator. Ketika misalnya base split telah dibagi 50 untuk negara dan 50 untuk KKKS, maka negara tidak menanggung biaya operasional.

Hanya saja dalam hal ini negara mencantumkan juga variabel split dan progresif split. Berdasarkan keterangan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja, ada terdapat 10 komponen yang masuk dalam variabel split.

Diantaranya mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Jika perusahaan menggunakan tenaga kerja dan alat produksi dalam negeri, maka pemerintah akan memberi persentasi insentif sesuai dengan volume TKDN yang telah dievaluasi oleh pemerintah.

Sedangkan mengenai split progresif, hal ini akan ditinjau dari harga minyak dunia dan direncanakan akan evaluasi secara berkala per tiga bulan. Jika produksi tidak ekonomis bagi kontraktor, maka pemerintah akan memberi insentif.

Mengenai insentif variabel split dan progresif split akan dipotong atau diambil dari base split bagian pemerintah. Dengan sistem seperti ini, pemerintah menyakini lebih memenuhi asas keadilan dan efisiensi. Pemerintah memperkirakan, kontraktor akan bertindak seefisien mungkin untuk mengejar selisih dari besaran antara base split yang didapat dengan biaya yang dikeluarkan.

Namun yang perlu digaris bawah, base split tersebut tidak dipatok secara permanen, namun tergantung negosiasi dengan memperhatikan tingkat kesulitan lapangan.

“Kalau takut dan ragu dengan skema ini bagian negara akan kecil, ya jangan mau base split bagian negaranya kecil, kan tergantung negosiasi,” tandas Arcandra.

(Laporan: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka