Jakarta, aktual.com – Peran para ulama Islam pada masa perang kemerdekaan merupakan salah satu bagian penting dalam sejarah bangsa yang patut dipahami. Hal ini tidak hanya memperluas wawasan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga menunjukkan betapa besar kontribusi ulama dalam proses tersebut.
Salah satu contoh nyata adalah keterlibatan KH. Hasyim Asy’ari, sosok ulama kharismatik yang menjadi guru bagi berbagai kalangan. Menjelang kemerdekaan, Kiai Hasyim memusatkan perhatian pada upaya membangun kekuatan bangsa, termasuk membina para pejuang dari Laskar Sabilillah dan Hizbullah. Beliau bahkan berani menentang penjajah dengan menolak tunduk pada kekuasaan mereka.
Para kiai dan ulama pada masa itu tidak sekadar mengajar agama, tetapi juga berada di garis depan melawan penjajah. Perjuangan mereka bukan hanya demi mempertahankan keyakinan, melainkan juga untuk membela tanah air. Bagi Kiai Hasyim, agama dan negara adalah dua hal yang tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang yang saling menguatkan.
Generasi muda perlu memahami betapa besar jasa para kiai di masa tersebut. Pada momentum peringatan kemerdekaan, penting untuk merenungkan peran tokoh seperti Kiai Hasyim yang berjuang demi tegaknya NKRI. Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak lepas dari perjuangan kaum santri, khususnya pada periode 1943–1945 ketika hampir semua pesantren membentuk pasukan laskar demi merebut kemerdekaan.
Dua laskar yang paling dikenal adalah Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Laskar Hizbullah, yang berarti “Tentara Allah”, dibentuk pada 8 Desember 1944 menjelang akhir kekuasaan Jepang. Anggotanya adalah para pemuda Islam dan santri dari berbagai daerah. Awalnya, Hizbullah didirikan sebagai kekuatan cadangan PETA (Pembela Tanah Air), setelah Jepang memberi izin kepada para tokoh Muslim untuk membentuk pasukan militer. Saat itu Jepang tengah terdesak oleh Sekutu.
Sebagai pimpinan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Kiai Hasyim menjadi penggerak semangat para pejuang. Di Pesantren Tebuireng, beliau memberikan wejangan, amalan, doa, dan ritual pemberangkatan yang sakral, menjadi penyemangat besar bagi para santri. Selain pelatihan militer, anggota Hizbullah juga dibekali pendidikan spiritual. Setelah selesai berlatih, mereka kembali ke daerah masing-masing dan membentuk satuan militer. Sementara itu, para kiai pesantren membentuk Laskar Sabilillah yang turut bertempur mempertahankan kemerdekaan, termasuk dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Sebelum diberangkatkan ke medan tempur, para anggota Hizbullah—terutama dari Jawa Timur—digembleng langsung oleh Kiai Hasyim. Kiai Abu Bakar Diwek Jombang menyebut bahwa beliau memberikan doa dan wirid khusus, meski bacaan persisnya dirahasiakan. Dari didikan ini lahir pejuang tangguh seperti Kiai Munasir Mojokerto, Kiai Yusuf Hasyim (putra beliau), dan Kiai Ahyat Chalimi Mojokerto, yang memimpin Hizbullah Jombang-Mojokerto melawan Sekutu.
Banyak pula kiai muda yang menjadi komandan andal, seperti Kiai Hasyim Latief, Kiai Nawawi Mojokerto, dan Kiai Masykur Malang. Tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Soedirman sering meminta nasihat kepada para kiai. Bahkan, pada 17 September 1945, Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa jihad bahwa membela tanah air merupakan jihad fi sabilillah. Fatwa ini menjadi jawaban atas permintaan Soekarno untuk menetapkan hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
Pada 21–22 Oktober 1945, PBNU menggelar rapat konsul NU se-Jawa dan Madura di Surabaya. Hasilnya, pada 22 Oktober, lahir Resolusi Jihad yang menegaskan kewajiban mempertahankan NKRI, di mana yang gugur dalam pertempuran dianggap syahid. Naskah resolusi ini bahkan menjabarkan kewajiban fardhu ‘ain bagi Muslim dalam radius 94 km dari lokasi musuh.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan menjadi tonggak keberlanjutan bangsa. Jika saat itu Sekutu berhasil tanpa perlawanan, Indonesia mungkin hanya menjadi negara boneka atau bagian dari persemakmuran, bukan negara berdaulat.
KH. Salahuddin Wahid pernah menjelaskan bahwa di masa pendudukan Jepang, banyak ruang diberikan kepada tokoh Islam. Jepang membentuk Shumubu, badan urusan agama, yang dipimpin oleh Kiai Hasyim Asy’ari, namun sehari-hari dikelola oleh putranya, KH. Wahid Hasyim. Dari sinilah lahir banyak tokoh Islam yang bergerak menuju kemerdekaan, termasuk pembentukan Hizbullah dan PETA yang dilatih Jepang. Langkah ini merupakan hasil lobi para tokoh, termasuk Kiai Hasyim, Soekarno, dan Supriadi, meski menuai kritik dari tokoh seperti Sutan Sjahrir yang menganggapnya sebagai bentuk kolaborasi. Padahal, menurut Gus Sholah, itu hanyalah strategi dakwah.
Melalui Masyumi, Kiai Hasyim dan Kiai Wahid mempersatukan umat Islam Indonesia. Tokoh-tokoh Masyumi berperan besar di jalur politik dan diplomasi. Pemanfaatan kesempatan bekerja sama dengan Jepang terbukti mempermudah jalan menuju kemerdekaan. BPUPKI kemudian dibentuk, melahirkan usulan dasar negara, yang akhirnya dirumuskan Panitia Sembilan—termasuk KH. Wahid Hasyim—dalam Piagam Jakarta. Meskipun akhirnya tujuh kata pada sila pertama dihapus, umat Islam menunjukkan kebesaran hati menerima keputusan tersebut demi persatuan bangsa.
Semua strategi politik dan dakwah yang dijalankan KH. Wahid tidak lepas dari arahan Kiai Hasyim. Keputusan-keputusan bijak di masa genting itu memastikan kemerdekaan dapat segera diproklamasikan. Karena itu, kesetiaan umat Islam terhadap NKRI tidak perlu diragukan; sejak awal, mereka telah membuktikan pengorbanannya demi negeri ini.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain













