Blok Migas Jadi Alat Transaksi Kepentingan Politik dan Pemburuan Rente

Telah menjadi rahasia umum bahwa blok migas dapat dijadikan daya tawar untuk mendapat dukungan politik. Khususnya di kalangan pegiat dan pemerhati migas, kasus termahsyur yang menjadi desas-desus adalah penyerahan operator Blok Cepu kepada EXXonMobil pada 2006 tidak terlepas dari manuver pergolakan politik dalam pemilihan pimpinan nasional yang berlangsung 2004.

Ditandatangannya kontrak selama 30 tahun oleh perusahaan asal AS itu, diisukan sebagai bagian dari pemenuhan komitmen Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas dukungan dari AS pada pemilihan Presiden 2004. Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara percaya atas cerita itu. Karenanya Marwan mewanti-wanti jangan sampai Blok Rokan bernasib sama dengan Blok Cepu. Marwan mencurigai Permen ESDM No 23 mulai membuka jalan untuk hal demikian.

“Chevron tentu akan mendapat dukungan pemerintah Amerika yang kayak dulu Blok Cepu oleh ExxonMobile konon Presiden Amerika waktu itu, Bush berkali-kali menelpon SBY untuk mengamankan Cepu agar diserahkan ke Exxon. Jadi Rokan ini bisa juga begitu dan Permen 23 ini akan memuluskannya,” kata Marwan.

Tentunya tegas Marwan, Permen 23 sangat bertentangan degan cita-cita bangsa dan komitmen membangun ketahanan energi nasional. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/PUU-X/2012 WK migas hanya boleh dikelola oleh BUMN sebagai wujud penguasaan negara.

“Jika Pemerintah masih mematuhi amanat konstitusi, maka tidak ada alternatif lain kecuali menyerahkan pengelolaan WK-WK yang berakhir KKKS-nya kepada BUMN. Jangankan Peraturan Menteri, bahkan PP dan UU pun harus tunduk pada amanat konstitusi. Sehingga, tanpa mempertimbangkan argumentasi lain, Permen ESDM No 23 tersebut batal demi hukum,” tegas Marwan.

Tak kalah penting, Marwan juga melihat adanya potensi penyelewengan dan pemburuan rente dari Permen ESDM No 23 Tahun 2018. Pasalnya tidak ada dasar perhitungan yang baku besaran dana yang harus dibayar kontraktor (di luar signatory bonus).  Selain itu juga memungkinkan adanya permainan ‘perusahaan’ siluman.

“Dasar perhitungan dana yang harus dibayar oleh sang kontraktor (di luar signatory bonus) tidak jelas, sehingga rawan untuk terjadinya KKN. Padahal dalam Permen No.15/2015, proses akuisisi saham WK tersebut dilakukan secara B-to-B dengan BUMN. Kemudian Penyerahan pengelolaan WK kepada kontraktor exsisting juga memungkinkan masuknya perusahaan siluman yang didukung oleh oknum penguasa guna memiliki saham secara gratis!” ujar dia.

Selanjutnya…
Permen ESDM No 23/2018 Sebuah Langkah Kemunduran

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta