“Dalam sejumlah kasus kami mendapatkan aduan bahwa anak yang menikah dini punya kerentanan yang tinggi berbagai konflik di tengah-tengah keluarga,” katanya.
Terkait kehamilan yang tejadi, menurut Susanto penting untuk dibahas tindak lanjutnya oleh para pihak di daerah setempat seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pekerja sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Dinas Pendidikan termasuk tokoh masyarakat.
“Menikah bukan pilihan terbaik. Bahwa kemudian yang bersangkutan hamil memang kondisinya seperti itu namun kemudian dinikahkan apakah ini menyelesaikan masalah sehingga penyelesaiannya butuh komprehensif melihat dari berbagai sisi,” jelas Susanto.
Untuk itu peran orang tua untuk memberikan pengasuhan yang terbaik, memenuhi kebutuhan anak baik fisik mau[un psikologis serta memberikan edukasi kesehatan reproduksi menjadi sangat penting.
Upaya melakukan pencegahan perkawinan usia dini secara masif harus dilakukan dan tidak bisa hanya diserahkan kepada orang tua semata tapi semua pihak harus punya visi yang sama untuk mencegah perkawinan dini.
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, usia perkawinan yang ideal adalah 21 tahun. Bahkan di dalam UU Perlindungan Anak Pasal 26 Ayat 1 (c) menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab orang tua di antaranya adalah mencegah perkawinan pada usia anak.
Ant
(Wisnu)