Dibawanya nama Puan dalam kasus ini kali pertama diungkapkan oleh kuasa hukum dari Setya Novanto, Maqdir Ismail pada 1 Februari 2018.“‎Saya kira sudah kami sampaikan di dalam eksepsi, tidak jelas dakwaan itu. Tetapi KPK bilang kan itu kepentingan penyidikan,” ujar Maqdir ketika itu.

Hal tersebut ditimpali oleh pengacara Novanto lain, Firman Wijaya. Kepada awak media mantan pengacara Anas Urbaningrum tersebut menilai sangat besar kemungkinan Puan akan diperiksa terkait kasus korupsi yang menimpa kliennya. Ia beralasan, Puan menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP saat proyek pengadaan e-KTP sedang digodok dalam DPR.

“Saya rasa kita tunggu saja. Karena posisi justice collabolator kan penting dalam instrumen penuntasan kasus. Berikan kesempatan Pak Nov dan kuasa hukum bekerja,”kata Firman. di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jakarta Pusat, 5 Februari lalu.

Beberapa Ketua Fraksi di DPR yang sempat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait e-KTP adalah Setya Novanto (Ketua Fraksi Golkar) serta Anas Urbaningrum dan Jafar Hamzah (Ketua Fraksi Demokrat).

Novanto sendiri telah menjadi tahanan KPK dan terdakwa dalam kasus ini.

Tak pelak, tudingan Firman pun telah membuat panas kuping para banteng. Terlebih, Puan merupakan putri dari Ketum PDIP.

Politikus PDIP, Masinton Pasaribu menyebut bahwa ucapan Firman sebagai tudingan yang tak berdasar.

“Ya itu kan yang tudingan-tudingan gitu kan harus bisa dibuktikan, kalau secara hukum ya,” kata Masinton pada 7 Februari 2018 lalu.

Bahkan Masinton menyebut tudingan Firman sebagai pembunuhan karakter jika tak disertai bukti yang mencukupi. Ia menambahkan, tudingan ini sarat akan motif politis lantaran tidak memiliki motif hukum yang kuat.

“Ya kalau dia enggak ada bukti kan berarti punya motif tertentu, motif tertentu kan bisa motif politik. Ya harusnya pernyataan-pernyataan gitu enggak perlu ditanggapi kalau enggak ada bukti-bukti,” jelas anggota Komisi III DPR ini.

Dalam kesempatan yang berbeda, keluhan terkait ini pun dilontarkan oleh Ketua DPP PDIP, Junimart Girsang kepada wartawan. Junimart berdalih bahwa pemeriksaan Puan tidak dapat dilakukan hanya karena semua Ketua fraksi di DPR telah diperiksa KPK terkait dengan kasus e-KTP.

Ia menambahkan, seorang saksi dalam perkara pidana, termasuk korupsi, harus masuk terlebih dahulu dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

“Jadi tidak boleh beralasan semua ketua fraksi sudah pernah dipanggil, tentu mereka sudah pernah diperiksa di BAP. Jadi bagaimana mungkin secara hukum acara dipanggil sebagai saksi dan dia tak tahu dalam rangka apa dia dipanggil,” jelas Junimart.

Hingga tulisan ini dibuat, Puan sendiri lebih memilih tutup mulut kepada wartawan terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi e-KTP.

Namun belakangan, Ganjar mengakui bahwa Puan telah mengetahui proses penggodokan proyek e-KTP di DPR selama 2011-2012. Pengakuan ini dilontarkan Ganjar saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan Novanto sebagai terdakwa.

“Semua biasanya ada laporan (kepada Ketua Fraksi),” kata Ganjar kepada majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, 8 Februari 2018 lalu.

Keterangan Ganjar sendiri setidaknya menggambarkan bahwa Puan mengetahui setiap detil laporan terkait pengadaan proyek e-KTP selama menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP.

Hal yang sama pun diungkapkan oleh mantan Ketua Komisi II DPR Chaeruman Harahap. Ia mengamini keterangan Ganjar tentang koordinasi anggota DPR kepada Ketua masing-masing fraksi dalam segala hal yang terjadi di setiap Komisi, termasuk pengadaan proyek e-KTP.

Sebab itu, kata Chaeruman, setiap perkembangan proyek e-KTP selalu ia dikabarkan ke Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar. Begitu juga dengan Fraksi Demokrat, sebagaimana dibeberkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin.

“Kami melaporkan perkembangannya (proyek e-KTP) ini bagaimana-bagaimana, sudah sejauh apa. Itu dilaporkan (ke Ketua Fraksi),” ucap Chaeruman ketika bersaksi untuk Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 1 Februari 2018.

Sebelumnya terungkap dari sejumlah saksi bahwa proyek e-KTP ini dikuasai oleh tiga partai besar yang diwakili dengan warna masing-masing. Dalam hal ini, warna kuning mewakili Partai Golkar yang ketua fraksinya pada saat itu Setya Novanto.

Sedangkan untuk warna biru mewakili Partai Demokrat yang ketua fraksinya pada saat itu Anas Urbaningrum dan Jafar Hapsah, yang telah berkali-kali diperiksa KPK.

Sementara warna merah yang mewakili PDIP, yang saat proyek e-KTP masih dalam tahap pembahasan fraksinya dipimpin Puan, yang sama sekali belum diperiksa KPK.

“Dalam pertemuan tersebut, Sugiharto memperlihatkan kepada saya (Irman), berupa secarik kertas berisi catatan sebagai berikut, Golkar kode kuning sebesar Rp 150 miliar, untuk Demokrat dengan kode biru sebesar Rp 150 miliar, dan untuk PDIP, kode merah sebesar Rp 80 miliar,” kata anggota Hakim saat membacakan BAP Irman di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, 25 Januari 2018, lalu.

Hakim pun kemudian mempertanyakan kembali kepada Irman atas keterangannya pada saat pemeriksaan. Irman membenarkan pernyataannya itu. Kata dia, kertas yang diterimanya dari Sugiharto merupakan rekapan dari pengusaha pengatur tender proyek e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong.

“Betul yang mulia. Jadi Pak Sugiharto bilang ke saya setelah menerima kertas itu dari Andi. Menurut Sugiharto (kertas itu) dari Andi,” timpalnya.

Irman membeberkan, uang kepada tiga partai besar dan tiga politikus itu berasal dari Dirut PT Quadra Solutions, Anang Sugiana Sudihardjo yang kini telah ditetapkan tersangka. Uang tersebut diserahkan Anang melalui Andi Narogong.

“Tiga kali (penyerahannya) di tahun 2011, dan satu kali tahun 2012. Ke‎mudian, Pak Sugiharto lapor ke saya, Andi juga lapor kepada Sugiharto bahwa telah menerima uang dari Anang oleh SN dan kawan-kawan,” bebernya.

SBY Berang

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Nebby