Yang perlu diperhatikan lanjut Fahmy; Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengumumkan terjadinya penurunan laba bersih pada semester I tahun 2017. Laba bersih semester pertama 2017 tercatat USD 1,4 miliar atau turun 24 persen dibandingkan semester yang sama pada 2016. Elia juga meneriakkan bahwa penyebab turunnya laba tersebut karena keputusan pemerintah untuk tidak meningkatkan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga akhir tahun.
Dalam kondisi bisnis yang hampir serupa, Direktur Utama sebelumnya Dwi Soetjipto justru mampu menaikkan laba sekitar USD 1,83 miliar pada semester pertama 2016 atau naik sebesar 221% dibanding periode yang sama pada 2015. Peningkatan laba Pertamina itu bukan berasal dari peningkatan pendapatan penjualan, tetapi lebih dipicu oleh efisiensi besar-besaran yang dilakukan oleh Pertamina, di bawah kepemimpinan Direktur Utama Dwi Soetjipto.
“Dengan membandingkan antara penurunan laba Pertamina pada 2017 dengan peningkatan laba pada 2016, klaim Elia, bahwa penurunan laba 2017 lebih disebabkan tidak dinaikkannya harga BBM Premium, tidak beralasan. Pasalnya, Pemerintah juga tidak menaikkan harga BBM Premium sepanjang 2016, pada saat kepemimpian Dwi Soetjipto. Bedanya, pada 2016 Pertamina mampu meningkatkan efisiensi, sedangkan pada 2017 terjadi inefisiensi,” ujar dia.
Karenanya dia mensinyalir salah satu sumber inefisiensi itu adalah penggemukan direksi Pertamina, yang tentunya membengkakan pengeluaran biaya operasional Pertamina. Padahal tegas dia, saat ini sesungguhnya tidak ada urgensi bagi Pertamina untuk melakukan penggemukan direksi. Alasannya, Pertamina tidak melakukan ekspansi usaha secara signifikan, bahkan kapasitas dan volume usaha Pertamina cenderung semakin menurun.
Oleh karena itu, menurut Fahmy, pemerintah harusnya mengkas struktur Pertamina dari 10 direktur menjadi 6 direktur. Keenam direktur itu, terdiri: Direktur Utama, Direktur Hulu, Direktur Pengolahan, Direktur Pemasaran, Direktur Keuangan, dan Direktur SDM.
“Tanpa pemangkasan struktur direksi tersebut, inefisiensi Pertamina akan terjadi secara terus menerus. Lagi-lagi, Pertamina akan mencari kambing hitam untuk menutupi inefisiensi yang berkepenjangan itu. Tidak dinaikkan harga BBM Premium, Penugasan distribusi BBM di luar Jawa, Madura dan Bali (Jamali), dan Kebijakan BBM Satu Harga akan selalu menjadi kambing hitam, manakala pendaptan Pertamina mengalami penurunan drastis, seperti yang terjadi pada periode 2017,” pungkas dia.
(Reporter: Dadangsah)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka