Ketua Umum Serikat Pekerja PLN terpilih, Djumadis Abda (kanan) dan Sekjen Serikat Pekerja PLN M Abrar Ali saat salam komando di Kantor Pusat PT PLN, Jakarta, Rabu (30/3/2016). Djumadis Abda dan M. Abrar Ali terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum dan sekjen SP PLN untuk masa jabatan 2016-2018. FOTO: AKTUAL/JUNAIDI MAHBUB

Jakarta, Aktual.com – Serikat pekerja PLN mengungkapkan bahwa PT PLN (persero) menderita akibat beban pemeliharaan pembangkit dari program 10.000 MW atau dikenal dengan Fast Track Project (FTP) yang dirasa sangat mahal.

Hal demikian disebabkan pada pembangunan pembangkit menggunakan teknologi dari China yang ternyata berbahan mutu rendah dan tidak handal. Sehingga PLN harus mengeluarkan kocek lebih utuk menangani permasalahan yang ada.

“Program 10.000 MW, PLN banyak membangun pembangkit China dan sekarang sudah terasa di kita, ternyata pembangkit China itu tidak andal dan sering rusak,” kata Ketua umum serikat pekerja PLN, Jumadis Abda, ditulis Selasa (8/8).

Tidak hanya itu, pembangkit yang dibangun juga ternyata kemampuan produksinya tidak sesuai apa yang diharapkan.

“Kemampuan operasinya tidak sesui dengan yang diharapkan. Misakan kita bangun pembangkit itu 100 MW, ternyata dia hanya mampu berproduksi 60 hingga 70 MW. Nah ini merugikan operasional kelistrikan disamping itu sering rusak. Ini sangat membebankan keuangan PLN untuk memelihara,” ujarnya.

“Jika kita bandingkan tahun 2015 dengan 2016, selama satu tahun itu biaya pemeliharaan naik Rp 4 triliun, itu sudah konposisi sampai 11 persen, idealnya biaya pemeliharaan itu untuik sistem kelistrikan 4 hingga 6 peren” pungkas dia.

Sebagaimana diketahui, program 10.000 MW ini banyak mangkrak dan sudah menjadi temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Diatara yang menjadi sorotan BPK terkait pengelolaan rantai suplai, pembangunan pembangkit listik 10.000 MW dan penyelenggaraan jaminan sosial.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby