Dengan fakta pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen, tentu jika program 35.000 MW tetap dipaksakan akan menjadi beban bagi PT PLN. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi menilai surat Menteri Keuangan, Sri Mulyani kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno, secara lugas mengindikasikan adanya potensi kebangkrutan PLN lantaran buruknya kinerja keuangan PLN.

Indikator itu dilihat dari kemampuan PLN membayar utang jangka pendek (Liquiditas) dan jangka panjang (solvabilitas) semakin memburuk. Bahkan Menteri Keuangan sudah mengajukan penundaan dan keringan (waiver) pembayaran utang PLN untuk menghindari gagal bayar (cross default) utang PLN.

“Potensi kebangkrutan itu sesungguhnya bukan semata-mata pemerintah meniadakan Kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TLL) dan mahalnya harga energi dasar pembangkit listrik, utamanya harga batu bara. Tetapi lebih disebabkan kegagalan manajemen PLN dalam mencapai efisiensi di segala bidang,” kata dia secara tertulis, Rabu (27/9).

Memang lanjutnya, TTL ditetapkan Kementerian ESDM bersama DPR selalu lebih rendah daripada Harga Pokok Penyediaan (HPP) Listrik. Namun gap antara TTL dan HPP sudah ditanggung pemerintah dalam bentuk subsidi

Demikian juga dengan mahalnya harga energi dasar. Memang proporsi biaya energi dasar mencapai 45%, tetapi ada 55% biaya lain belanja pegawai dan manajemen, biaya distribusi dan biaya transmisi yang seharusnya bisa lebih diefisienkan oleh PLN. Namun tidak pernah dilakukan.

“PLN, didukung Sri Mulyani, hanya merengek kepada Pemerintah, untuk menurunkan harga batu bara dalam skema Domestic Market Obligation (DMO). Untungnya Menteri ESDM tidak serta merta mengabulkan permitaan DMO PLN. Jonan menyaratkan DMO tadi dengan syarat PLN melakukan efisiensi biaya di luar biaya energi dasar,” ujar dia.

Kemudia menurutnya, tidak seharusnya Sri Mulyani menjadikan Proyek 35.000 GW sebagai ‘kambing hitam’ potensi kebangkrutan PLN.

Alasannya, PLN diwajibkan membangun pembangkit listrik hanya sebesar 30,5%, sedangkan 69,5% dari 35.000 MW diserahkan kepada swasta dalam skema Independent Power Producer (IPP).

Dengan demikian masalah utama penyebab potensi kebangkrutan adalah kegagalan manajemen dalam mengelola PLN, terutama mencapai efisiensi. Pengeluaran biaya non energi dasar cenderung boros. Manajemen tidak fokus pada core business penyediaan dan distribusi listrik, tapi melalui anak-anak perusahan merambah ke berbagai bisnis yang di luar core dan kompetensinya.

“Business expansi yang tidak fokus dan tidak prospektif merupakan penyumbang terbesar membengkakan utang PLN hingga gagal bayar. Solusinya, ganti seluruh jajaran direksi dan komisaris PLN. Direksi dan komisaris baru harus membenahi efisiensi dan melakukan restrukturisasi keuangan, terurama strukturisasi utang,” pungkas dia.

Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Arbie Marwan