Jakarta, Aktual.co — “To the famished man, democracy can never be more than a slogan. What can a vote mean to a woman worn out by toll, whose children fret and all with the fever of malaria? Democracy is not merely government by the people, democracy is also government for the people.”
Pidato berbahasa Inggris yang lancar dari Presiden Soekarno dalam sidang gabungan House of Representatives dan Senat Amerika Serikat tanggal 17 Mei 1956 itu seyogyanya akan selalu terngiang di telinga Megawati Soekarnoputri, presiden kelima Indonesia. Bahwa, ‘untuk manusia yang kelaparan, demokrasi tak pernah lebih dari slogan.’ Itu amat difahami oleh putri proklamator ini. Terutama sebagai seorang ibu, Mega sadar, ‘apalah arti suara bagi ibu yang menjadi korban saat anak-anaknya resah menderita demam akibat malaria?’
Sikap ideologis yang tertanam berkat ajaran bapaknya itu yang membuat Ketua Umum PDI Perjuangan ini mantap meyakini, ‘demokrasi bukan hanya pemerintahan oleh rakyat, (tapi) demokrasi juga pemerintahan untuk rakyat.’
Cuplikan pidato Presiden Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia itu sangat tepat untuk mencermati Kongres PDI Perjuangan bertema Aku Melihat Indonesia, di Sanur, April 2015. Thema yang diangkat dari judul puisi karya Bung Karno ini sesuai dengan tujuan partai berideologi Pancasila ajaran Soekarno ini dalam menyelenggarakan kongres, setelah Joko Widodo, kader yang diusungnya terpilih menjadi Presiden dalam Pilpres 2014.
‘Presiden pilihan rakyat’ ini tak dapat disangkal lagi adalah memang petugas partai. Berkat diusung PDI Perjuangan, Jokowi demikian sapaan akrabnya, telah empat kali menang pada pemilu jabatan eksekutif tertinggi di masing-masing tingkatan. Dua kali untuk Wali Kota Solo, satu kali untuk Gubernur DKI Jakarta, dan terakhir Pilpres Juli 2014.
Semua itu tak lepas dari keputusan matang Mega selaku Ketua Umum DPP PDI Perjuangan. Keputusan politisi negarawan yang berarti untuk jadi pucuk pimpinan tertinggi di negara demokrasi ketiga terbesar dunia ini, sebaiknya harus meniti the right track dari bawah ke atas. Keputusan yang mengisyaratkan jabatan presiden, seturut tafsir Megawati Soekarno, bukan monopoli keluarga politisi berdarah biru. Sikap yang menegaskan bahwa demokrasi itu memang pemerintahan oleh rakyat.
Keputusan Mega itu sejalan dengan sikap partai yang kukuh memperjuangkan garis tegas ideologis antikolonialisme imperialisme ajaran Soekarno ini. Meski itu juga yung mungkin membuat PDI Perjuangan tiga kali gagal menang pilpres dalam tiga pemilu era reformasi. Baik pilpres tidak langsung melalui MPR maupun pilpres langsung one man one vote.
Meski Mega tiga kali gagal terpilih jadi presiden, namun putri Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ini malah memenangi Pilpres 2014 dengan memberi mandat untuk Joko Widodo menjadi Capres dari PDI Perjuangan. Padahal Mega masih bisa jadi capres lagi. Atau paling tidak bisa berkompromi, misalnya mengalah menjadikan putrinya Puan Maharani sebagai cawapres dari capres Prabowo. Tapi kedua opsi itu tidak dipilihnya. Mega malah memilih Jokowi yang disebutnya sebagai ‘banteng kerempeng yang hebat’. Sikap kenegarawan dari presiden kelima ini banyak diacungi jempol oleh berbagai kalangan.
Pujian serupa pernah diberikan sejumlah pengamat jeli kepada tokoh yang akrab disapa Mbak Mega ini, atas jiwa besar dan sikap tegarnya. Kendati sebagai perempuan dan anak presiden pendiri bangsa negara ini dia harus getir menjalani derita selaku tumbal keluarga, tumbal politik, dan tumbal demokratisasi.
Lihat saja pada pemilu demokratis 1999 hasil reformasi, semula khalayak yakin Mega akan terpilih menjadi presiden reformasi menggantikan presiden transisi BJ Habibie. Tapi akibat konspirasi yang digalang ‘poros tengah’, pencapresan Mega pun tumbang. Yang terpilih malah KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur, yang menurut mantan Kassospol ABRI Letjen Agus Widjoyo, berhasil mencundangi Amien Rais penggagas poros tengah yang berambisi menjegal capres partai pemenang pemilu 1999.
Kebesaran jiwa Mega saat itu terlihat dari kerelaannya diperjuangkan sebagai Wapres oleh Partai Kebangkitan Bangsa yang notabene partai pengusung Gus Dur. Sikap ini diputuskan Mega yang tidak ingin bangsa ini terpecah belah. Suasana malam setelah hasil perhitungan suara di MPR saat Mega resmi dinyatakan kalah amat mencekam. Kerusuhan siap meledak tiap saat di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa dan luar Jawa. Sejumlah bentrok mulai terjadi. Namun situasi dan kondisi langsung meredam terkendali begitu Mega diumumkan iklas menjadi cawapres pendamping Gusdur.
Kebesaran jiwa dan sikap demokratis Mega pun kembali diuji pada pilpres langsung 2004 yang baru pertama digelar di Indonesia. Selaku presiden incumbance, sesungguhnya Mega berwenang dan berpeluang mempergunakan segala daya dan cara untuk menang. Apalagi saat itu beredar rumor bahwa Mega telah ditikam dari belakang oleh sosok yang semula ditimang untuk menjadi cawapresnya. Tapi Mega memilih agar pilpres langsung berjalan demokratis. Mega menolak bertindak lancung.
Mega memilih jadi Ibu Rakyat Indonesia, sebagaimana sikap dasar yang diajarkan oleh Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno. Pilihan yang tak banyak disadari oleh pengamat, apalagi khalayak ramai. Mega memilih bersama rakyat dan hadir untuk rakyat. Persis seperti yang pernah dikemukakan KH Said Agil Siradj sebelum jadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, bahwa meski bukan type guru bangsa, tapi Mega adalah sosok Ibu Rakyat Indonesia.
Seperti juga Soekarno yang mewanti-wanti bahwa ancaman bagi Revolusi Indonesia tidak hanya datang dari luar, tetapi muncul dari dalam negeri sendiri, begitu pula cara Mega memandang kelangsungan PDI Perjuangan. Itu sebab, Mega bersedia mengorbankan diri tetap memimpin partai anti kolonialisme nonkooperatif yang berlambangkan banteng ini.
Meski Kongres PDI Perjuangan diperkirakan akan berjalan lancar tak ada persaingan sengit memperebutkan ketua umum, banyak kalangan justru tertarik mengamati, langkah kejutan apa yang akan diambil Mega. Apalagi mengingat kongres kali ini sangat jauh berbeda dari empat kongres sebelumnya.
Pertama, inilah kongres perdana tanpa kehadiran HM Taufik Kiemas, politisi kawakan yang mampu mengimbangi dan melengkapi Mega selaku suami sekaligus devils advocat. Siapa pengganti mitra dialogis Mega setelah almarhum Taufik Kiemas wafat? Akankah Mega lebih berpaling kepada Mohamad Goentoer Soekarnoputra, kakaknya yang selama ini bertindak sebagai penjaga ideologis, dan kepala keluarga besar Soekarno selaku Ketua Yayasan Bung Karno? Jika demikian, apakah benar Kongres juga akan membentuk Majelis Ideologi Partai yang akan berfungsi menjadi semacam politibiro seperti kelaziman dalam partai-parti berhaluan ideologis kerakyatan?
Kedua inilah kongres pertama yang diselenggarakan setelah Capres yang diusung PDI Perjuangan menang Pilpres. Khalayak kini bertanya-tanya ihwal hubungan PDI Perjuangan dengan petugas partai yang kini menjadi presiden. Politik berdimensi apa lagi yang akan dipilih Mega? Apakah Mega akan mewakafkan Jokowi kepada koalisi partai pendukungnya? Atau membiarkan status politik Jokowi tetap tersandera masa lalu yang terperangkap tengkulak yang meng-ijon pengusaha mebel ini sebelum menjadi Wali Kota Solo? Atau Mega akan menggoyang lagi pendulum keseimbangan wewenang kepartaiannya sebuai irama yang dilakukan selama menghadapi presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono?
Dalam hal ini berarti Mega siap juga bertarung panjang dengan musuh ideologisnya, yang lahir dan dibesarkan dalam lingkup gaul yang difasilitasi perusahaan raksasa trans nasional, yang selama ini diam-diam mencengkeram Jokowi, sebagaimana mengulangi perjuangannya melawan rejim otoriter Orde Baru yang didukung kepentingan kapitalisme global. Sebaliknya bagi Jokowi sendiri, terpisah dari PDI Perjuangan, apalagi dari garis politik ideologis Soekarno, sama saja dengan melakukan bunuh diri politik, akibat kehilangan basis politik nasional terkuat pendukungnya .
Ketiga dalam konteks pesan Bung Karno yang mengamanatkan doktrin Trisakti, berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, Mega kini berada dalam detik detik momen penentuan. Sikap decisive Mega menuntut kecermatan seksama guna menetapkan. siapa kader muda partai yang menjadi Sekjen, motor PDI Perjuangan, maupun siapa wakil ketua umum dan atau ketua harian. Mereka semua akan dipersiapkan untuk bersaing dalam kancah suksesi kepemimpinan partai menyongsong Pemilu dan Pilpres 2019.
Ketiga faktor itu membuat kongres PDI Perjuangan kali ini lebih menggeliat bagi kalangan pengamat. Megawati dan gaya demokrasi Ibu Rakyat Indonesia. (dhia prekasha yoedha)
Artikel ini ditulis oleh: