Ketua KPK Agus Rahardjo - Potensi Kerugian Negara Rp26,3 T di Sektor ESDM. (ilustrasi/aktual.com)
Ketua KPK Agus Rahardjo - Potensi Kerugian Negara Rp26,3 T di Sektor ESDM. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI melaporkan hasil kajian bahwa adanya potensi kerugian Negara pada sektor pertambangan dan migas kepada Komisi VII DPR RI.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, pengkajian itu didapat dari identifikasi renstra. Temuan tersebut juga sesuai dengan fungsi dan kewenangan lembaga antirasuah itu untuk memonitoring lembaga dan pemerintah.

“Setelah dikaji, kita beri saran ke kementerian terkait. Kalau tak diindahkan, KPK bisa laporkan kepada presiden atau DPR. Kita sampaikan bersama perkembangan yang sudah kita lakukan. Laporan juga kepada BPK,” ujar Agus di ruang rapat Komisi VII DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (26/10).

Lebih lanjut, Agus mengungkapkan pada sektor minerba pihaknya menemukan potensi yang belum terpakai negara.

Adapun permasalahan di minerba, yakni kajian piutang dari tahun 2012-2103 sebesar Rp3,8 Triliun, Kontrak Karya (KK) sebesar Rp280 Miliar, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebesar Rp22,1 Triliun (Dana Hasil Penjualan Batubara tahun 2008-2012).

“Sehingga Total piutang yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp26,3 triliun,” jelas Agus.

Kemudian, lanjut Agus, mengenai Izin Usaha Pertambangan dari 10.172 IUP, ditemukan bermasalah sekitar 3.772 (37%) Non CnC (Clean and clear), dan 6.400 (63%) CnC.

“Itu sekitar 37 persen pada waktu kondisi sekarang. Pada era Sudirman Said ada sekitar 4.000-an,” katanya.

Selain itu, ada juga terjadi potensi hilangnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) minerba berdasarkan perhitungan menggunakan data surveyor (kajian KPK). Diantaranya, pada Batubara (2010-2012) kurang bayar USD1,2 juta dan Mineral (2011) kurang bayar sebanyak USD24, 6 juta.

Sementara, adapula permasalahan di sektor Migas. Pertama, kepatuhan kewajiban pelaku usaha hulu, dari 319 wilayah kerja (WK) terdapat 143 WK (44,8%) belum melunasi kewajiban keuangan. Sedangkan, 141 WK (44,2%) lainya tidak melakukan kewajiban EBA (Environmental Based Assessment).

Kedua, kepatuhan pelaku usaha hilir migas, dari 262 pelaku usaha hilir migas di 2016 terdapat 68,5% tidak hadir pada verifikasi, 150 pelaku usaha (57,3%) pembayaran iuran usahanya tidak lancar.

“Dan 55 pelaku usaha hilir migas tidak pernah melaporkan kegiatannya. Implementasi SOT pun dikeluhakan. Banyak Gubernur dan Bupati tak tahu lifting nya berapa,” pungkas Agus.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan