Jakarta, aktual.com — Polemik perebutan lahan seluas sekitar 16,4 hektare (ha) di Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar, Sulawesi Selatan, antara PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (PT GMTD) dengan PT Hadji Kalla membuka kembali perhatian publik mengenai persoalan praktik mafia tanah di Indonesia.
Perbincangan di media sosial pun ramai menyebutkan, bila sekelas mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla saja mengalami sengketa lahan karena praktik mafia tanah, lalu bagaimana dengan nasib rakyat jelata.
Apalagi, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid menyampaikan, praktik mafia tanah akan terus terjadi hingga Hari Kiamat.
Baca juga:
Mafia Tanah, Celah Hukum dan Perilaku Oknum Aparat
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (2016-2021) Iwan Nurdin menyampaikan, masyarakat memang rentan mengalami sengketa lahan.
Ia menyebut banyak tanah rakyat yang tidak memiliki sertifikat, sehingga mudah digusur, diklaim pihak lain, maupun diakui sebagai sebagai tanah negara.
“Tanah warga sebagian besar tidak dilindungi dalam bentuk sertifikat. Mau sertifikasi sulit, mahal, dan lama. Sementara BPN belum proaktif melayani rakyat,” katanya kepada Aktual.com.
Bahkan, meskipun masyarakat sudah punya sertifikat, seringkali terjadi sertifikat ganda, atau kepemilikan ganda, akibat praktik mafia tanah.
Ironisnya, praktik tersebut tidak hanya menyasar tanah-tanah milik rakyat. Tanah wakaf dan tanah negara pun acap kali terkena sasaran para mafia tanah yang ingin mengeruk keuntungan pribadi.
Hal ini seperti terjadi pada kasus dugaan penjualan tanah negara kepada negara dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh). Modusnya, tanah negara dialihkan menjadi milik warga, lalu seolah-olah membelinya dari masyarakat.
Ekosistem Mafia Tanah
Iwan menyampaikan, praktik mafia tanah berakar dalam ekosistem di internal Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, instansi tersebut acapkali menutup-nutupi bila kasus yang terkait pegawainya.
“Mafia tanah itu ekosistemnya di BPN. Mereka bisa produksi sertifikat. Tapi ketika bermasalah, mekanisme internal saling menutupi dan meminta pengadilan yang memutuskan. Jadi berujung di sana mafia tanahnya,” paparnya.
Senada, Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menyebut, mafia tanah tidak mungkin bergerak sendiri tanpa dukungan dari orang ‘dalam’ BPN.
“Mereka mendapat dukungan dari lingkungan BPN. Pemberantasan mafia tanah harus dimulai dengan sanksi tegas terhadap oknum yang terlibat,” ujarnya.
Trubus menilai, permainan birokrasi di ATR/BPN menjadi akar dari berbagai persoalan pertanahan. Bahkan, penegakan aturan sering kali diabaikan ketika ada pegawai yang terbukti bermasalah.
“Kalau ada pegawai bermasalah, seharusnya dipindahkan atau dimutasi, bukan malah dilindungi,” tegasnya ketika dihubungi Aktual.com.
Parlemen Pertanyakan Komitmen Pemerintah
Karenanya, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, mempertanyakan keseriusan Kementerian ATR/BPN dalam memberantas mafia tanah.
Selain menyoroti lemahnya sistem, Deddy juga mengkritik pola pikir Kementerian ATR/BPN dalam melayani rakyat maupun investor.
Deddy juga menyinggung pernyataan Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid yang mengatakan mafia tanah akan selalu ada hingga Hari Kiamat.
Menurut Deddy, pernyataan tersebut menggambarkan kurangnya kemauan untuk melakukan perubahan mendasar dalam sistem pertanahan Indonesia.
“Saya dengarnya tersentak, mafia tanah itu tidak bisa (ditindak), pasti ada insan agraria di dalamnya yang terlibat. Walaupun tidak semua. Jadi kalau tidak ada niat berubah, saya kira sampai kapanpun penderitaan rakyat, kesusahan di tingkat investor juga enggak akan pernah selesai,” ujarnya.
Deddy meminta Kementerian ATR/BPN melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem dan pola pikir dalam pengelolaan pertanahan. Ia menekankan bahwa cara kerja yang digunakan saat ini masih dipengaruhi warisan kolonial.
“Tolong sistem thinking-nya, operating system dibenerin supaya ada perubahan kita ini, karena ini semua cara berpikirnya kalau kita tarik sejarah, cara berpikir kolonial. Seolah-olah yang butuh rakyat,” pungkasnya.
Laporan: Yassir Fuady
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















