Presiden RI Prabowo Subianto saat menghadiri retreat kepala daerah di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (28/2) sore. Aktual/HO

Di negeri yang katanya sudah meninggalkan budaya feodal, kekuasaan masih saja gemar menghidangkan kursi empuk sebagai suguhan untuk kroni. Belum genap setahun Prabowo menjabat sebagai Presiden, aroma lama yang seharusnya sudah usang kembali semerbak dari tubuh BUMN, praktik rangkap jabatan, politik balas budi, dan komisaris dadakan yang datang dari istana.

Transparansi Internasional Indonesia (TI Indonesia) menyebutkan, komposisi komisaris di perusahaan milik negara kini semakin terasa bukan sebagai bagian dari penguatan tata kelola, melainkan lebih sebagai ladang distribusi jabatan politik.

Dari 56 wakil menteri yang dilantik di era Prabowo, lebih dari separuh kini juga duduk nyaman sebagai komisaris di BUMN atau anak perusahaannya. Jumlahnya tak main-main: 33 wakil menteri dan satu wakil dari Kantor Komunikasi Presiden (PCO) ikut berbagi posisi itu.

Puncak ironi terlihat pada Badan superholding BP Danantara. Salah satu jabatannya diisi oleh Donny Oskaria yang tak lain adalah Wakil Menteri BUMN.

Pertamina menjadi arena favorit. Ada enam wakil menteri menempati kursi komisaris di perusahaan migas pelat merah itu dan anak usahanya. Mereka berasal dari kementerian yang tak ada kaitannya langsung dengan urusan energi. mulai dari Wamen Investasi Todotua Pasaribu, Wamendiktisaintek Stella Christie, hingga Wakil Kepala PCO M. Qodari.

Telkom pun ikut-ikutan. Enam wakil menteri juga didudukkan di dalamnya, mulai dari Wamen Kominfo Angga Raka Prabowo sebagai Komisaris Utama, hingga Wamen Kependudukan Ratu Isyana Bagoes Oka di anak perusahaan Dayamitra Telekomunikasi.

Di sektor kelistrikan, PLN dan subholding-nya menjadi rumah bagi empat wakil menteri, di antaranya Wamen Keuangan Suahasil Nazara dan Wamenpora Taufik Hidayat.

Di PT Pupuk Indonesia, dua wakil menteri mengisi jajaran komisaris. Garuda Indonesia juga tak mau ketinggalan, dengan dua nama selebritas politik: Giring Ganesha dan Veronica Tan.

Perbankan pun tak steril. Bank Mandiri, BRI, dan BTN masing-masing menampung satu wakil menteri sebagai komisaris.

Bahkan sektor-sektor spesifik lain yaitu dari pelabuhan, pertahanan, hingga semen dan jasa jalan tol, juga menjadi ‘tempat parkir’ politik yang subur.

“BUMN sejak dulu memang sulit lepas dari intervensi politik, misalnya dalam penempatan figur tertentu, misalnya pada level komisaris. Tren ke depan sepertinya intervensi semacam ini akan sampai pada level direksi. Ini tentu menjadi beban bagi BUMN. Termasuk dalam pembentukan Danantara, dimana pengurusnya juga bagian dari elit politik,” ungkap Sekjen TI Indonesia, Danang Widoyoko.

Namun yang paling menggelitik bukan sekadar siapa yang duduk, tapi apa kaitannya antara kursi yang ditempati dan latar belakang pejabat tersebut.

TI Indonesia mencatat banyak penempatan yang tak relevan dengan posisi kementerian si wamen. Misalnya, apa kaitan Wamen ATR/BPN dengan Telkom? Atau Wamen Perempuan & Perlindungan Anak dengan Citilink? Atau bahkan Wamen HAM dengan perusahaan jasa penerbangan?

Penempatan seperti ini, menurut TI Indonesia, menunjukkan betapa lemahnya tata kelola BUMN. Fungsi strategis komisaris seperti pengawasan bisa lumpuh jika diliputi konflik kepentingan.

“Fenomena komisaris dari jalur politik menjadi kesalahan berulang, ini menjadi bagian dari konflik kepentingan, fungsi-fungsi strategis yang melekat pada komisaris seperti pengawasan pada akhirnya akan lumpuh. Apakah penguatan BUMN yang diliputi rangkap dan bagi-bagi jabatan seperti ini yang dikehendaki Presiden?” tutur Asri Widayati, Peneliti Economic Governance TI Indonesia.

Peringatan ini seharusnya menjadi alarm politik bagi Presiden Prabowo. Janji dalam Asta Cita sangat jelas menyatakan keinginan untuk memperkuat manajemen BUMN yang profesional, berintegritas, dan bebas dari kepentingan politik. Namun jika realitasnya justru diisi oleh politisi dan kroni yang rangkap jabatan, bagaimana publik bisa percaya pada tekad reformasi yang digaungkan?

Kekuasaan memang menggoda, tapi mengelola negara bukanlah urusan dagang kursi. Jika tidak berhenti sekarang, sejarah mungkin akan mencatat Prabowo sebagai Presiden yang mengulang kesalahan lama: menjadikan BUMN bukan sebagai mesin pembangunan, tapi sebagai panggung distribusi loyalitas.

Istana: Rangkap Jabatan Wakil Menteri Sah Menurut Putusan MK

Istana menegaskan bahwa rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN tidak melanggar konstitusi. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyebut penunjukan tersebut sah secara hukum karena tidak ada larangan eksplisit dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019.

“Yang jelas sampai hari ini, di putusan MK nomor 80 tahun 2019, tidak ada bunyi putusan yang melarang itu. Itu clear,” ujar Hasan, Selasa (3/6/2025).

Ia menambahkan, meski ada pertimbangan soal konflik kepentingan, hal itu tidak tertuang dalam amar putusan yang bersifat mengikat.

Hasan menilai keputusan Presiden menunjuk wakil menteri sebagai komisaris sudah melalui kajian hukum dan tidak melanggar aturan apa pun.

“Kalau ada yang menggugat silakan. Itu hak konstitusional warga. Tapi hari ini, per keputusan itu dibuat, tidak melanggar aturan apa pun,” tegasnya.

Ia menutup dengan menegaskan bahwa larangan rangkap jabatan hanya berlaku untuk menteri, kepala PCO, dan menteri sekretaris negara. Sedangkan untuk wakil menteri, menurut Hasan, “dibolehkan secara aturan.”

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto