Jakarta, Aktual.com – China dan Indonesia masih belum sepakat terkait pembengkakan biaya sebesar US$2 miliar proyek Kereta Cepat Indonesia – China (KCIC), demikian kata kepala konsorsium proyek itu, Kamis (13/10), namun demikian kereta yang menghubungkan Jakarta – Bandung tersebut diprediksi siap beroperasi pertengahan tahun depan.
“Pemerintah Indonesia dan Tiongkok masih bernegosiasi terkait cost overrun,” kata Direktur Utama PT KCIC, Dwiyana Slamet Riyadi, menambahkan jumlah besarnya pembengkakan biaya menurut pemerintah Indonesia berbeda dari pemerintah China.
Pemerintah China menyebut pembengkakannya tidak lebih dari US$1 miliar menurut laporan Tempo.
“Masing-masing punya konsultan dan membangun asumsi yang berbeda,” ujar Dwiyana , kepada wartawan di Stasiun Tegalluar, Jawa Barat.
Sebagai contoh, kata Dwiyana, konsultan China menghitung biaya Global System for Mobile Communication-Railway (GSM-R) untuk 900 megahertz itu gratis karena pemerintah China menyediakan frekuensi tersebut untuk kereta api.
Sementara untuk di Indonesia, lanjut dia, frekuensi 900 megahertz tersebut sudah digunakan oleh industri telekomunikasi untuk jaringan seluler, membuat KCIC harus bekerja sama dengan operator seluler Telkomsel untuk menggunakan jaringan tersebut.
“Di situ ada investasinya hampir sekitar Rp1,3 triliun untuk clearance frekuensi dan lain-lain sehingga tidak akan saling mengganggu antara frekuensi Telkomsel dengan frekuensi kami,” ujar Dwiyana.
Dwiyana berharap negosiasi itu secepatnya selesai sehingga masalah ini tidak sampai mengganggu proyek kereta api cepat.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo saat meninjau lokasi proyek itu pada Kamis menyatakan optimis kereta cepat tersebut bisa beroperasi tahun depan karena 88,8 persen proyek telah rampung.
“Peluncuran nanti untuk operasional insya Allah kurang lebih di bulan Juni tahun 2023,” ucap Jokowi, yang mengatakan bahwa proyek kereta cepat pertama di ASEAN itu dirancang untuk meningkatkan daya saing kawasan.
“Saya berharap proyek kereta cepat ini dapat meningkatkan konektivitas antarnegara di ASEAN,” ujar Jokowi kepada wartawan.
Dwiyana mengatakan kemungkinan Jokowi dan Presiden China Xi Jinping menguji coba kereta tersebut. Xi Jinping dijadualkan akan datang ke Indonesia dalam rangka menghadiri KTT G20 di Bali bulan depan.
“Rencananya Presiden Joko Widodo dan (Presiden China) Xi Jinping mencoba (menaiki kereta api ini) sejauh 15 kilometer bolak-balik sambal melihat kecanggihan dari teknologi ini,” kata Dwiyana kepada wartawan.
Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sebagaimana KCIC ini juga disebut, mampu melaju dengan kecepatan 350 kilometer per jam dan akan melayani sebanyak 68 perjalanan setiap hari serta berhenti di lima stasiun, dengan waktu tempuh antara 34-45 menit, dibanding 2,5 jam dengan kereta biasa, kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kepada wartawan Agustus lalu.
Proyek ini merupakan bagian dari Belt and Road Initiative, program pemerintah China senilai US$1 triliun lebih untuk membiayai pembangunan infrastruktur di seluruh dunia.
Sejak konstruksi dimulai pada tahun 2017, proyek KCIC ini menuai sejumlah kecaman terutama dampaknya terhadap lingkungan dan kekhawatiran tentang kenaikan biaya hingga hampir US$8 miliar atau sekitar Rp114 triliun, dibandingkan dengan perkiraan awal sebesar US$6 miliar atau sekitar Rp86,3 triliun.
Pada Oktober 2021, Presiden Jokowi memutuskan untuk mengizinkan penggunaan APBN dalam pembiayaan proyek kereta cepat tersebut melalui revisi atas Peraturan Presiden yang dikeluarkannya pada tahun 2015 yang melarang penggunaan dana negara untuk proyek KCIC.
Sebulan kemudian, Menteri Keuangan Sri Mulyani di depan DPR mengatakan bahwa pemerintah telah memutuskan untuk menyuntikkan Rp4,3 triliun rupiah untuk KCIC, kebijakan yang dikritik sejumlah pihak yang mengatakan hal itu akan membawa Indonesia ke dalam perangkap utang.
Pemerintah Indonesia mengusulkan agar China Development Bank, yang mendanai proyek tersebut, menanggung 75 persen dari pembengkakan biaya, sementara KCIC mendanai sisanya. KCIC adalah perusahaan patungan dari konsorsium perusahaan China dengan empat badan usaha milik negara (BUMN), – KAI, Wijaya Karya, PTPN VIII, dan Jasa Marga.
Konsorsium Indonesia menguasai 60 persen KCIC, sedangkan China Railway Engineering Corp dan perusahaan China lainnya sisanya.
Februari lalu, KCIC mengatakan balik modal dan keuntungan dari kereta cepat tersebut baru akan dilihat dalam 40 tahun bukan 20 tahun seperti yang diproyeksikan sebelumnya – sebagian disebabkan karena rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan akan secara tajam mengurangi jumlah penumpang.
“Transportasi untuk segelintir orang”
Anggota DPR Suryadi Jaya Purnama mengatakan dari segi penyelenggaraan kemanfaatan umum maka proyek KCJB bukanlah termasuk kebutuhan yang dibutuhkan oleh orang banyak.
“Dengan harga tiket yang tinggi, tentunya KCJB hanya akan melayani kebutuhan transportasi segelintir orang saja dan hanya untuk rute tertentu saja yaitu Jakarta Bandung,” ucapnya kepada BenarNews.
Dia juga mengatakan dengan total investasi mendekati US$8 miliar yang jauh lebih mahal dari Jepang yang mengusulkan US$5,2 miliar, ternyata penyerapan tenaga kerja lokal dalam proyek KCJB hanya sekitar 13 ribu orang dari total 15 ribu tenaga kerja sebagaimana data yang diungkap oleh KCIC.
“Sedangkan estimasi jika menggunakan skema Jepang, dengan investasi yang lebih murah diperkirakan dapat menyerap tenaga kerja hingga 35 ribu orang,” tandas Suryadi.
Jokowi menetapkan bekerja sama dengan China dan bukan Jepang, dengan alasan tawaran Beijing tidak memerlukan pembiayaan atau jaminan dari pemerintah Indonesia.
Harus berani negosiasi dengan China
Muhammad Andri Perdana, peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), mengatakan Indonesia harus berani melakukan negosiasi dengan China Development Bank untuk berbagi pembiayaan dalam menyelesaikan pembengkakan dana.
“Seharusnya kreditur China itu juga merasakan risiko yang kita alami. Ini kan proyek investasi, tapi kok mereka tidak merasakan risiko investasinya?” ujar Andri kepada BenarNews.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan hal senada.
“Karena ini kerja sama, maka jika ada cost overrun harus ditanggung bersama antara BUMN Indonesia yang bekerja sama dengan China,” ujar Eko.
Sebuah studi AidData yang dirilis tahun lalu mencatat bahwa Indonesia berutang $17,28 miliar dalam “utang tersembunyi” ke China. Hampir 70 persen dari pinjaman luar negeri China diarahkan ke perusahaan milik negara dan lembaga sektor swasta, yang sebagian besar utang tersebut tidak muncul di neraca pemerintah, kata lembaga penelitian pembangunan internasional yang berbasis di AS itu.
BenarNews.org