Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat menyampaikan keterangan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/9/2025). ANTARA/Andi Firdaus/am.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat menyampaikan keterangan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/9/2025). ANTARA/Andi Firdaus/am.

Jakarta, Aktual.com – Beberapa bulan menjabat sebagai Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menjadi topik hangat di berbagai ruang publik. Nama dan pernyataannya nyaris tak pernah absen dari pemberitaan media dan diskusi media sosial. Ia bicara soal pertumbuhan ekonomi, menegur kepala daerah yang menyimpan dana di bank, menyentil pengusaha, hingga menyinggung kebijakan antar kementerian.

Sosok ini seolah hadir di mana-mana, membuka wacana, mengguncang kenyamanan, dan kadang, menimbulkan gesekan. Dari komentar soal ‘pengusaha yang mau untung sendiri, tapi rugi minta negara,’ hingga kritik terbuka pada efisiensi anggaran daerah, Purbaya tampil dengan gaya komunikasi yang tidak biasa bagi pejabat publik.

Bagi sebagian orang, gaya bicara seperti itu menegaskan keberanian dan kejujuran seorang pejabat publik. Tapi bagi sebagian lainnya, Purbaya dianggap terlalu frontal, bahkan cenderung menabrak etika komunikasi antar lembaga.

Namun di balik popularitas dan gaya “koboy” itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah Purbaya benar- benar sedang mengubah arah kebijakan ekonomi, atau hanya menghadirkan citra baru dalam bungkus lama? Atau hanya membangun citra “pejabat blak-blakan” untuk memperkuat posisi politiknya?

Baca juga:

Menkeu Purbaya Respons Prediksi ‘Kota Hantu’ IKN: Jangan Percaya Media Asing!

Dari Gaya Komunikasi ke Politik Kesadaran
Rian Fahardi Risyad, kreator konten dan aktivis generasi muda yang sering membahas isu sosial politik di TikTok, punya pandangan menarik soal fenomena ini. Ia menilai gaya komunikasi Purbaya menjadi faktor pembeda utama dari pejabat-pejabat sebelumnya.

“Yang bikin beda itu gaya komunikasinya. Dia berani tampil apa adanya, nggak pakai topeng formalitas kayak pejabat pada umumnya,” kata Rian saat dihubungi Jumat (31/10).

Menurut Rian, kejujuran dan kelugasan Purbaya justru membuat publik merasa dekat. Dalam bahasa komunikasi politik, gaya ini dikenal sebagai ‘authentic populism’ yakni strategi menyamakan gaya bicara pejabat dengan bahasa keseharian rakyat.

“Kalimatnya kadang keras, kering, tapi di balik itu ada pesan yang nyentuh keresahan publik. Orang merasa dia ngomongin hal yang sama kayak yang mereka pikirin,” ujarnya.

Ia mencontohkan pernyataan Purbaya soal ketergantungan dunia usaha terhadap negara. “Kalimat kalau rugi minta negara’ itu memang sinis, tapi sebenarnya dia mau nyentil kesadaran publik. Bahwa ekonomi itu nggak bisa terus-menerus bergantung pada negara,” kata Rian.

Namun, Rian juga mengingatkan agar publik tidak larut dalam pesona gaya komunikasi semata. “Jangan- jangan nanti ini cuma jadi ‘kuda Troya’. Retorikanya prorakyat, tapi kebijakannya bisa aja bergeser dari cita-cita awal,” ujarnya.

Baca juga:

Kopdes Merah Putih Sulit Dapat Modal, Purbaya Salahkan Himbara

Sejak awal menjabat, Purbaya berulang kali menekankan pentingnya ‘realitas ekonomi.’ Ia menolak target-target pertumbuhan yang dianggap terlalu ambisius tanpa basis data yang kuat. Namun, di saat yang sama, ia tetap mengusung target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen dalam lima tahun ke depan angka yang banyak dinilai ‘optimistis sekaligus spekulatif.’

Rian menilai langkah itu mencerminkan pendekatan realis progresif. “Dia realistis karena nggak menutup-nutupi masalah. Tapi tetap punya semangat optimis bahwa 8 persen itu bukan mustahil,” katanya.

Menurut Rian, pendekatan ini menjadi menarik karena Purbaya bukan sekadar mengutip data, tapi berusaha membuka akar persoalan struktural.

“Dia ngomongin hal yang jarang dibuka pejabat lain, kayak masalah efisiensi kementerian, atau anggaran daerah yang nggak jalan. Itu bikin publik merasa dia nggak cuma bicara angka, tapi masalah sebenarnya.”

Baca juga:

Purbaya Soal Pernyataan Whoosh Jokowi : “Ada Betulnya Juga Sedikit”

Bahasa Koboi: Masih di Jalur yang Benar, Efektif, Tapi Penuh Risiko

Sementara itu, dari Senayan, penilaian terhadap kinerja awal Purbaya cenderung lebih moderat. Politikus Partai Demokrat dan anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, menilai langkah-langkah Purbaya sejauh ini masih berada ‘dalam jalur yang benar.’

“Setiap menteri punya gaya dan strategi masing-masing. Menteri Keuangan sebelumnya banyak bergerak di ranah makro. Pak Purbaya lebih fokus ke mikro, bagaimana membangun pendapatan dari kegiatan ekonomi riil,” kata Herman saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jumat (31/10).

Menurutnya, arah kebijakan ekonomi pemerintah saat ini, termasuk di bawah koordinasi Purbaya, masih sejalan dengan visi Asta Cita, delapan agenda strategis pemerintahan Prabowo yang menjadi janji politik kampanye.

“Saya kira semua masih on the track. Pemerintahan ini menjalankan program yang sudah dijanjikan,” ujar Herman.

Baca juga:

Gaya Koboi Purbaya: dari Kritik Hasan Nasbi, Sindiran Bahlil, Debat Luhut, hingga Bantahan Gubernur

Ketika ditanya soal gaya komunikasi Purbaya yang sering memicu perdebatan, Herman memilih diplomatis. “Kami biarkan publik yang menilai. Dalam demokrasi yang sehat, evaluasi terbaik datang dari rakyat,” ujarnya.

Di kalangan analis politik, gaya komunikasi Purbaya justru dianggap sebagai inovasi yang berani. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, menyebut gaya blak-blakan Purbaya sebagai ‘angin segar’ di tengah birokrasi yang selama ini terkesan kaku.

“Purbaya tampil apa adanya, gaspol tanpa jaim. Publik suka karena pejabat publik biasanya kaku, penuh
basa-basi,” kata Adi saat dihubungi Sabtu (1/11).

Menurut Adi, gaya komunikasi seperti ini tidak hanya membangun citra pribadi, tapi juga berfungsi membuka tabir masalah yang selama ini tak diketahui publik.

“Dia berani ungkap soal utang, dana daerah di bank, impor baju bekas, sampai komentar ke kementerian lain. Itu bikin pejabat lain mungkin agak risih, tapi bagi publik, dia tampil jujur,” ujarnya.

Namun, Adi juga menyadari bahwa gaya blak-blakan bisa berisiko. “Itu bisa bikin gesekan antar lembaga. Tapi sejauh ini, kabinet masih kelihatan solid. Bukan pertanda konflik elite, justru saling melengkapi,” katanya.

Baca juga:

Menkeu Purbaya Tekankan Akselerasi Belanja Daerah untuk Dorong Pembangunan

Menguji Konsistensi Sang Koboi, Antara Retorika dan Realita

Purbaya memang datang dengan citra baru, tapi ujian sesungguhnya bukan pada gaya bicara, melainkan hasil kebijakan. Beberapa ekonom menilai, arah yang diambil Purbaya relatif konsisten dengan semangat efisiensi fiskal dan penguatan institusi. Ia menegaskan bahwa sistem pajak tidak boleh bergantung pada tekanan jangka pendek, dan lembaga negara harus kuat serta konsisten dalam menegakkan aturan.

Rian Fahardi, yang lebih banyak berbicara dari sisi sosial-politik, menilai konsistensi inilah yang akan diuji publik ke depan.

“Kita bisa lihat apakah kebijakan-kebijakan dia beneran menyentuh rakyat atau cuma berhenti di narasi. Kalau mau capai 8 persen pertumbuhan, ya buktikan dengan akses ekonomi yang nyata di daerah-daerah, bukan cuma di data presentasi,” ujarnya.

Dalam konteks ini, Rian menilai publik tetap perlu waspada terhadap dinamika politik di balik kebijakan. “Purbaya kan sering bilang ‘saya ikut presiden’. Nah, itu juga sinyal politik. Kalau nanti arah presiden berubah, bisa aja dia ikut arus. Jadi publik harus tetap kritis,” tambahnya.

Baca juga:

Purbaya Siapkan Rp20 Triliun untuk Pemutihan Tunggakan BPJS Kesehatan

Di banyak kesempatan, Purbaya menyebut dirinya bukan tipe pejabat yang pandai beretorika. Namun justru di situlah letak paradoksnya: gaya ‘anti-retorika’ yang ia tampilkan sebenarnya menjadi retorika baru yang efektif.

Ia bicara dengan bahasa rakyat, menolak diksi-diksi teknokratik, bahkan kadang menggunakan humor satir untuk mengkritik sistem birokrasi. “Kalau mau cari pejabat yang sopan tapi nggak kerja, banyak. Tapi kalau mau yang kerja tapi kadang ngomongnya nyolot, ya saya,” ujarnya dalam salah satu forum publik.

Bagi sebagian kalangan, gaya itu membangkitkan harapan akan pejabat yang lebih jujur dan transparan. Tapi bagi kalangan birokrat lama, gaya seperti ini bisa menimbulkan resistensi, karena dianggap menabrak etika koordinasi dan prosedur antar kementerian.

Namun, seperti dikatakan Adi Prayitno, politik tak bisa hanya diukur dari sopan santun. “Dalam politik, yang penting bukan gaya bicara, tapi kejelasan arah. Selama kabinet solid dan publik tahu apa yang sedang dikerjakan, itu sudah capaian besar,” katanya.

Beberpa bulan menjabat, bukan waktu yang cukup untuk menilai dampak kebijakan ekonomi secara substantif. Namun, periode singkat ini cukup untuk menegaskan satu hal: Purbaya sedang berusaha mengubah paradigma komunikasi kekuasaan.

Baca juga:

Menkeu Purbaya Alokasikan 13T Hasil Sitaan Kasus Ekspor CPO ke LPDP

Ia hadir di setiap isu, berbicara langsung tanpa filter, dan menjadikan komunikasi publik sebagai instrumen kebijakan. Dalam dunia yang serba digital, di mana persepsi publik sering kali lebih berpengaruh daripada kebijakan itu sendiri, pendekatan ini bisa jadi langkah cerdas—atau justru jebakan citra yang berisiko.

Presiden Gen Z, Rian Farhadi menyimpulkan dengan nada hati-hati. “Kita harus kasih ruang dulu buat lihat kinerjanya. Tapi juga harus tetap kritis. Karena sejarah udah sering nunjukin, pejabat yang kelihatannya jujur pun bisa berubah ketika kekuasaan menuntut lebih.”

Purbaya mungkin memang ‘ada di mana-mana’ di panggung media, di ruang publik, dan di benak rakyat. Tapi apakah ia benar-benar ‘melawan semua orang?’ Belum tentu. Bisa jadi, gaya itu justru menjadi strategi untuk menegaskan posisi: bahwa komunikasi jujur bukan bentuk perlawanan, tapi cara baru menata ulang kepercayaan publik pada negara.

Namun satu hal pasti: dalam dua bulan pertama masa jabatannya, Purbaya telah menggeser cara publik melihat pejabat negara. Dari yang biasanya dingin dan penuh jargon, menjadi figur yang lebih membumi, meski tetap berisiko.

Apakah langkahnya akan melahirkan perubahan nyata, atau justru berhenti di panggung pencitraan? Jawabannya belum ada sekarang. Tapi jika satu hal bisa disimpulkan dari gaya blak-blakan Purbaya, mungkin itu adalah pesan sederhana: bahwa di tengah politik yang penuh basa-basi, kejujuran sekeras apapun masih punya tempat.

Laporan: Taufik Akbar Harefa

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi