Sunanto, S.H.I.,M.H. Dewan Pembina Cakrawala Negarawan Indonesia

Belakangan, reformasi Polri kembali menjadi perbincangan hangat. Di tengah pergantian dinamika politik nasional dan meningkatnya ekspektasi publik terhadap penegakan hukum, muncul pertanyaan mendasar: apa sebenarnya yang hendak diubah dari kepolisian? Apakah sekadar mengganti figur di pucuk pimpinan, atau menata ulang nilai-nilai yang menjadi fondasi moral lembaga ini?

Belakangan, Polri memang seolah sedang diuji. Sejumlah peristiwa besar, mulai dari tragedi Kanjuruhan hingga kasus Ferdy Sambo, mengguncang kepercayaan publik dan menuntut perubahan. Namun di balik guncangan itu, tampak kesadaran baru: bahwa pembenahan sejati tidak selalu datang dari luar, melainkan bisa tumbuh dari dalam.

Polri kini tengah menengok dirinya sendiri, mencoba mencari bentuk terbaik sebagai lembaga penegak hukum yang bukan hanya kuat secara institusional, tetapi juga manusiawi dalam menjalankan mandatnya.

Langkah-langkah perbaikan yang kita lihat hari ini bukan sekadar rutinitas administratif atau agenda politik sesaat. Ia lebih menyerupai proses refleksi kelembagaan, upaya panjang untuk menata kembali nilai dasar, mengoreksi cara kerja lama, dan membangun hubungan baru antara negara, aparat, dan warga.

Seperti diingatkan Kurt Lewin, setiap organisasi yang ingin berubah harus berani “mencairkan” kebiasaan lama, memperkenalkan pola baru, lalu meneguhkan kembali nilai yang diperbarui. Dalam konteks Polri, tahap “mencair” itu dimulai saat lembaga ini mengakui adanya krisis kepercayaan publik dan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri.

Langkah tersebut menandai sesuatu yang lebih penting daripada sekadar respons atas tekanan publik: kesediaan untuk berubah dari dalam. Sebab reformasi sejati bukan perkara mengganti orang, tetapi mengganti cara berpikir; bukan mengganti sistem semata, tetapi memperbarui kesadaran moral tentang apa artinya menegakkan hukum di tengah masyarakat demokratis.

Dari Program ke Nilai

Di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri mengusung program Polri Presisi, Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan, yang diharapkan menjadi fondasi baru budaya kerja kepolisian. Dari program ini lahirlah berbagai inovasi: Polri Super App, SIM Online, SKCK Online, dan berbagai layanan digital lain yang memangkas birokrasi dan membuka akses publik secara luas.

Namun, jika transformasi hanya berhenti di level digitalisasi atau inovasi layanan, maka transformasi itu belumlah utuh. Perubahan sejati selalu menyentuh wilayah nilai—bagaimana aparat memaknai peran mereka, bagaimana mereka memandang warga, dan bagaimana kekuasaan digunakan untuk melindungi, bukan menakuti.

Inilah yang dimaksud dengan pembelajaran ganda (double-loop learning) sebagaimana dikemukakan Chris Argyris: bukan hanya memperbaiki kesalahan teknis, tetapi meninjau ulang cara berpikir yang mendasarinya. Dalam konteks Polri, pembelajaran ini berarti menata ulang cara lembaga ini melihat kekuasaan, hukum, dan kemanusiaan.

Tim Reformasi Polri yang kini bekerja di bawah Komjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana mencoba menapaki jalan itu. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa reformasi kepolisian tidak boleh berhenti pada restrukturisasi organisasi, melainkan harus menyentuh “roh” institusinya—moralitas, keterbukaan, kemanusiaan, dan pelayanan publik. Penegakan hukum, katanya, bukan soal menghukum, tetapi tentang membangun peradaban.

Polri sendiri memang telah menunjukkan kemajuan di banyak bidang. Dalam tiga tahun terakhir, lembaga ini berhasil mengungkap lebih banyak kasus kejahatan siber, perdagangan orang, hingga illegal mining dan illegal fishing. Pengamanan Pemilu 2024 berjalan relatif aman dan damai.

Lebih dari itu, reformasi sumber daya manusia juga mulai tampak. Proses rekrutmen lebih terbuka, pelatihan diperkuat dengan pendekatan teknologi, dan orientasi pelayanan publik mulai dihidupkan kembali. Survei Indikator Politik Indonesia (2023) bahkan mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri meningkat hingga 73,2 persen. Artinya, upaya pembenahan Polri mulai mendapat tempat di hati masyarakat.

Tapi pekerjaan belum selesai. Reformasi yang sejati menuntut lebih dari sekadar perubahan prosedur; ia menuntut keberanian untuk berubah secara moral. Sejauh ini, Polri sudah belajar banyak dari krisis. Kini tantangannya adalah menjadikan pembelajaran itu permanen, membentuk budaya baru yang menolak penyimpangan, sekecil apa pun itu.

Reformasi Polri: Antara Substansi dan Framing Politik

Sepintas, perubahan di tubuh Polri tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan dukungan lintas lembaga dan keterlibatan masyarakat sipil. Dalam konteks itu, rencana pemerintah membentuk Komite Reformasi Polri patut diapresiasi.

Komite ini diharapkan menjadi wadah yang mempertemukan pemerintah, akademisi, dan publik dalam merumuskan arah baru reformasi kepolisian. Namun, hingga kini, keputusan presiden (Keppres) tentang pembentukannya belum diterbitkan. Nama-nama anggota juga belum diumumkan, kecuali Mahfud MD yang disebut akan terlibat. Artinya, agenda reformasi masih berada pada tahap desain kebijakan.

Dua peristiwa besar yang melibatkan institusi kepolisian belakangan ini tidak seharusnya dipahami sekadar sebagai “kasus”. Ia justru membuka kembali pertanyaan mendasar: apa sebenarnya arah reformasi Polri yang tengah dijalankan? Sebab yang dibutuhkan bukanlah sekadar pergantian figur di pucuk pimpinan, melainkan perubahan yang lebih substansial, perubahan dalam cara berpikir, cara bertindak, dan cara menghayati tanggung jawab sebagai pengemban hukum.

Kisruh dalam demonstrasi beberapa waktu lalu menjadi contoh nyata betapa mudahnya ruang publik ditunggangi oleh agenda politik. Aksi yang semula lahir dari aspirasi berubah menjadi tindakan anarkistis. Dalam pusaran itu, kepolisian justru menjadi korban dari framing politik, dipersepsikan berlebihan, diserang di tengah tugas menjaga keteraturan. Padahal, mereka yang berdiri di lapangan tetap harus menjalankan mandat negara, meski berada di tengah badai opini

Namun pekerjaan belum selesai. Reformasi sejati tidak berhenti pada perbaikan prosedur atau penggantian pemimpin; ia menuntut keberanian moral untuk berubah dari dalam. Sejauh ini, Polri telah belajar banyak dari krisis kepercayaan masa lalu.

Tantangannya kini adalah menjadikan pembelajaran itu permanen—membentuk budaya baru yang menolak penyimpangan sekecil apa pun, dan menumbuhkan kesadaran bahwa keadilan tidak lahir dari kekuasaan, tetapi dari integritas.

Rencana pembentukan Komite Reformasi Polri, yang masih berada pada tahap desain kebijakan, sebenarnya memberi ruang untuk meninjau ulang arah reformasi itu sendiri. Waktu ini sebaiknya dimanfaatkan bukan untuk menambah struktur, melainkan untuk memperdalam paradigma. Sebab inti dari pembaruan Polri bukanlah mengganti orang atau membentuk lembaga baru, tetapi memperkuat kesadaran bahwa polisi adalah penjaga kepercayaan publik, bukan sekadar pelaksana perintah negara.

Krisis kepercayaan yang pernah terjadi mengajarkan hal penting: legitimasi tidak dibangun dari kekuatan, melainkan dari kepercayaan. Dan kepercayaan hanya bisa tumbuh dari empati, transparansi, dan tanggung jawab. Jika nilai-nilai ini dijaga di seluruh lini, Polri bukan hanya akan menjadi lembaga profesional, tetapi juga lembaga yang berkarakter, kuat tanpa kehilangan sisi manusiawinya.

Pertanyaan “quo vadis reformasi Polri” pada akhirnya bukan tentang siapa Kapolri, melainkan tentang ke mana arah moral dan kultural kepolisian akan dibawa. Reformasi sejati adalah perjalanan panjang, bukan hasil instan. Ia menuntut keberanian untuk terus berbenah, bukan karena tekanan publik, melainkan karena kesadaran moral sebagai pelindung masyarakat.

 

 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Eka Permadhi