Jakarta, Aktual.com – Perdebatan publik terkait rencana penerapan redenominasi dinilai hanya terjebak pada aspek teknis tanpa memahami prasyarat makro, institusional, dan perilaku yang menentukan keberhasilan redenominasi.

“Debat publik soal redenominasi sering berhenti pada tataran kosmetik, yaitu ‘menghapus tiga nol’, tanpa memahami kerangka strategis yang justru menentukan keberhasilannya,” ujar Analis Ekonomi Politik FINE Institute Kusfiardi, dalam keterangannya kepada aktual.com, Jakarta, Selasa (25/11/2025).

Menurutnya, perdebatan publik mengenai rencana redenominasi rupiah perlu ditempatkan dalam kerangka strategis, bukan sebatas perubahan kosmetik ‘menghapus tiga nol.

Kusfiardi juga menambahkan, aspek perilaku (behavioral risks) merupakan elemen penting yang sering luput dari perdebatan publik. Mengacu pada studi ECB mengenai transisi euro, terdapat risiko seperti rounding effect, persepsi inflasi, hingga bias psikologis masyarakat yang dapat memperburuk kegagalan apabila komunikasi publik tidak konsisten dan tidak berbasis data.

“Kajian ECB tentang euro mengingatkan risiko perilaku, seperti rounding effect, persepsi inflasi, dan bias psikologis, dapat memperburuk kegagalan bila komunikasi publik tidak konsisten,” tegasnya.

Fondasi Makro, Institusional, dan Kapasitas Transisi sebagai Penentu

Kusfiardi menjelaskan, pengalaman internasional menunjukkan pola yang konsisten, yakni redenominasi hanya sukses apabila menjadi bagian dari paket reformasi komprehensif (reform package) yang menyasar kredibilitas negara, stabilitas harga, serta efisiensi sistem transaksi.

“Di banyak negara, redenominasi berhasil ketika ia menjadi bagian dari reform package yang menyasar kredibilitas negara, stabilitas harga, serta efisiensi sistem transaksi,” tambahnya.

Kusfiardi merujuk pada studi IMF dan Bank Dunia yang memperlihatkan redenominasi hanya efektif di tengah stabilitas harga yang kuat dan kedisiplinan fiskal yang kredibel. Ia juga mencontohkan Turki (2005) dan Polandia, yang menghimpun keberhasilan setelah membenahi disiplin makro dan reformasi lembaga serta memperkuat kapasitas bank sentralnya.

Ia juga menjelaskan, literatur mengenai credibility of central banks—salah satunya dibahas oleh Cukierman dalam Federal Reserve Bank of St. Louis Review—menunjukkan kepercayaan publik merupakan prasyarat krusial agar perubahan angka nominal tidak dipersepsikan sebagai sinyal ketidakstabilan atau krisis.

Lebih lanjut, katanya, berbagai studi kasus Ghana dan Meksiko, serta laporan sistem pembayaran dari BIS–CPMI, memperlihatkan, kapasitas transisi—mulai dari kesiapan infrastruktur IT, integrasi digital, hingga koordinasi pelaku ritel—sering kali menjadi faktor pembeda antara redenominasi yang berjalan mulus dan yang memicu disrupsi harga.

“Kami melihat bahwa kesiapan transisi digital dan sistem pembayaran adalah faktor penentu yang tidak boleh diabaikan,” jelas Kusfiardi.

Seluruh rujukan tersebut, menurut Kusfiardi, membentuk pola yang jelas, redenominasi hanya memberikan nilai ekonomi apabila dijalankan berdasarkan fondasi strategis yang kuat, bukan karena motif administratif atau simbolik.

“Redenominasi hanya menghasilkan nilai ekonomi ketika fondasi strategisnya kuat,” tutup Kusfiardi.

BRIN Kaji Redenominasi

Sebelumnya, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Arif Satria menyatakan kesiapan BRIN mengkaji wacana redenominasi rupiah. Bahkan, ia menyebut segera memanggil peneliti bidang ekonomi BRIN.

“Kita akan, tim peneliti kita dalam bidang ekonomi, ya kita akan segera panggil untuk bisa melakukan kajian,” kata Arif, Selasa, (25/11/2025)

Arif mengatakan kajian yang dilakukan peneliti BRIN akan menjadi rekomendasi kepada Bank Indonesia. “Rekomendasi yang selanjutnya bisa menjadi suatu bahan bagi Bank Indonesia,” sebut dia.

Dia mengaku sudah bertemu dengan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Dalam pertemuan itu, ketiganya turut membicarakan soal redenominasi rupiah.

“Insyaallah hal yang tadi sudah disampaikan terkait dengan aspek redenominasi itu bisa kita kaji,” ujar dia.

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa juga menyampaikan pihaknya tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Redenominasi Rupiah. Draft RUU ini akan rampung pada 2026 atau 2027.

Menurut Purbaya, kebijakan ini bertujuan menyederhanakan nilai mata uang tanpa mengubah daya beli masyarakat, misalnya dari Rp1.000 menjadi Rp1.

Dengan redenominasi, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sistem keuangan, menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional, serta memperkuat stabilitas dan kredibilitas rupiah di mata publik maupun dunia internasional.

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi