Jakarta, Aktual.com -Berbanding terbalik atau sangat timpang dengan 10 korporasi besar yang menguasai ratusan hingga ribuan hektar tanah, Reforma Agraria belum menjadi perhatian publik. Karena itu, meski terus menjadi janji politik setiap periode pemerintahan, Reforma Agraria (RA) mudah dilupakan dan tidak menjadi prioritas. Meskipun RA sendiri sudah menjadi kewajiban pemerintah karena telah diundangkan di dalam UUPA 1960. Demikian hasil pengamatan Konsorsium Pembaruan (KPA), yang diungkapkan dalam temu pers, 27 Juli 2016.

Tidak dijalankan reforma agraria, telah menyebabkan ketimpangan yang semakin akut. Ketimpangan tanah yang terjadi dapat dilihat dari 0,2 persen penduduk negeri ini (2012) menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Sensus pertanian 2013 menyebutkan, mayoritas petani di Indonesia petani kecil atau gurem, dengan kepemilikan lahan rata-rata kurang 0,5 hektar. Dari 26,14 juta rumah tangga petani, 14,62 juta (56,12%) adalah petani gurem. hektar tanah.

Selain itu, menurut pandangan KPA, konflik agraria dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan seiring dengan ekspansi kapital di sektor infrastruktur, pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Perampasan tanah rakyat akibat ekspansi kapital tersebut seringkali mengakibatkan korban jiwa maupun luka-luka.

Sebagai contoh konflik agraria di sektor perkebunan; konflik agraria ini disebabkan oleh izin lokasi, izin prinsip, dan pemberian Hak Guna Usaha yang diberikan di atas tanah-tanah yang dimiliki atau dikelola oleh masyarakat. Dengan kata lain, pemberian izin dan hak kepada perusahaan tersebut telah melegalkan perampasan tanah rakyat.

KPA melihat, tidak hanya di daerah pedesaan, konflik agraria juga terjadi di wilayah perkotaan. Konflik dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum di perkotaan banyak disebabkan oleh: ganti kerugian yang tidak adil dan layak, serta prosesnya yang kerap diwarnai dengan pola-pola kekerasan dan intimidasi; tidak ada atau belum tersedianya area relokasi bagi warga yang dipindahkan; penggunaan tanah yang seharusnya murni dipakai untuk kepentingan umum kerap kali disusupi kepentingan bisnis.

Sementara itu di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, nelayan menjadi kelompok masyarakat yang tersingkir dari tempat tinggal dan wilayah tangkapannya seperti yang terjadi beberapa tempat yang wilayahnya dijadikan taman nasional seperti di Ujung Kulon dan Pulau Komodo. Kemudian ada beberapa pulau kecil yang berubah menjadi area pertambangan dan perkebunan yang merampas ruang hidup para nelayan.

KPA berpendapat, Reforma Agraria menjadi jalan pilihan untuk menyelesaikan ketimpangan ekonomi rakyat secara bersama-sama, dimulai dari ketimpangan penguasaan tanah. Reforma Agraria juga dapat menjadi jalan untuk membuka lapangan pekerjaan, produktifitas dan pertumbuhan ekonomi secara mandiri.

Meskipun pemerintah telah mempunyai program redistribusi tanah 9 juta hektar, namun masih jauh dari program reforma agraria sejati. Komitmen pemerintah untuk menyelesaikan konflik harus terus didorong oleh berbagai macam kelompok, terutama kalangan media yang mempunyai kekuatan untuk terus meyebarluaskan gagasan mengenai reforma agraria, sebagai solusi atas masalah ketimpangan dan konflik agraria di Indonesia.

Kita sepakat dengan pandangan KPA bahwa isu agraria ini harus terus dikampanyekan oleh kalangan media agar terus menjadi perhatian kita bersama. Untuk itulah, KPA mengajak insan media sekalian untuk ikut membantu membumikan kembali isu-isu agraria demi kepentingan bangsa dan juga kesejahteraan rakyat. *** (Satrio Arismunandar)

Artikel ini ditulis oleh: