Jakarta, Aktual.com – Pada Special Report sebelumnya yang berjudul Reformasi Agraria “Ngibul” Ala Jokowi, aktual.com mengulas bahwa program Jokowi dalam bagi-bagi sertifikat tanah ke masyarakat telah salah konsep dari tujuan sebenarnya. Banyaknya kasus sengketa lahan di negeri ini yang belum terselesaikan, serta hanya sedikit masyarakat yang diberikan lahan pertanian, dan 74% lahan dikuasai oleh kelompok tertentu semakin membuat miris program nawacita ini.
Berbicara pencaplokan tanah milik rakyat yang direbut oleh korporasi besar, sepertinya bukan kisah baru. Kasus pencaplokan yang sudah puluhan tahun namun belum kunjung terselesaikan salah satunya adalah kasus lahan BSD (Bumi Serpong Damai). Dipilihnya kasus ini oleh redaksi aktual.com selain dekatnya lokasi untuk dilakukan investigasi, karena berhubungan salah satu taipan “Sembilan Naga”.
Siapa yang tak kenal dengan kemewahan dan kemegahan Bumi Serpong Damai atau yang sekarang lebih terkenal dengan sebutan BSD City? Salah satu kota terencana di Indonesia yang terletak di Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan yang diresmikan sejak 16 Januari 1984.
BSD City merupakan salah satu kota satelit yang pada awalnya ditujukan untuk menjadi kota mandiri, dimana semua fasilitas disediakan di lokasi tersebut termasuk Kawasan industri, perkantoran, perdagangan, pendidikan, wisata, dan perumahan dengan total luas lahan terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 6.000 hektar. Namun siapa sangka kemewahan dan kemegahan BSD City yang dikelola oleh Sinarmas Land (Sinarmas Group) dan telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan nama BSDE, ternyata menyisakan penderitaan rakyat lewat penguasaan tanah secara ilegal.
Asal Mula Sengketa Tanah BSD
Adalah Rusli Wahyudi, salah satu korban yang tanahnya dicaplok oleh BSD. Pengrajin Batik keturunan Tionghoa ini saat berkunjung ke kantor Redaksi aktual.com Senin (19/3) mengisahkan kembali ceritanya karena telah dirampas hak tanahnya seluas 2,5 hektar, sudah sekitar 20 tahun lalu lewat rekayasa jual beli ilegal dengan ahli waris yang tak puas tanah peninggalan orangtuanya telah dijual kepada Rusli.
Rusli menceritakan awalnya dia membeli tanah seluas 2,5 hektar dari The Kim Tin sejak tahun 1988. The Kim Tin adalah pensuplai kayu bakar ke pabrik batik milik Rusli sering meminjam uang kepada Rusli. Karena tidak dapat mengembalikan uang dan utangnya yang terus menumpuk, akhirnya The Kim Tin pada tahun 1991 menyerahkan surat Girik Tanah No.913 tahun 1958 persil 36/S seluas 2,5 hektar (2 hektar tanah darat dan 0,5 hektar tanah sawah) yang berlokasi di Desa Lengkong Gudang Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang waktu itu untuk dibeli oleh Rusli sekaligus untuk membayar utang-utangnya.
Rusli pun menyanggupi untuk membayar sisa tanah tersebut dengan cara mencicil, karena berencana akan memperbesar pabrik batiknya di Kawasan Serpong. Ketika hampir lunas cicilan pembayaran, The Kim Tin pun meninggal dunia, sehingga sisa pembayaran tanah ia serahkan ke ahli waris. Namun sebagian ahli waris (The On, The Tan Nio, dan The Men Nio, anak ahli waris dari istri pertama) menolak sisa pelunasan tanah dan menganggap penjualan girik yang dilakukan The Kim Tin sebelum meninggal dunia tidak sah, inilah proses awal mula sengketa lahan.
Lanjut ke halaman 2…