Namun jika revisi PP No.23 dipaksakan, maka manfaat bagi kemakmuran rakyat berkurang dan pihak yang paling diuntungkan adalah para kontraktor tambang batubara, yang selama ini telah menikmati keuntungan yang sangat besar dari kekayaan milik negara.

Kemudian dikatakan rencana revisi PP 23 tersebut bertentangan dengan UU Nomor 04 tahun 2009 tentang Minerba, yakni Pasal 83, Pasal 169 dan Pasal 171. Pada Pasal 83 mengatur luas maksimal IUPK Operasi Produksi hanya 15.000 ha. Untuk KK dan PKP2B diharuskan menyesuaikan segala ketentuan yang ada dalam KK dan PKP2B, dan dia tidak memiliki hak sama sekali untuk memperoleh perpanjangan usaha pertambangan secara otomatis saat kontrak berakhir, kendatipun dalam bentuk perubahan menjadi IUPK. Wilayah kerja tersebut harus dikembalikan kepada negara dan menjadi wilayah pencadangan negara.

“UU Minerba tidak mengenal adanya perpanjangan KK/PKP2B. Setelah berakhirnya masa berlaku suatu kontrak KK atau PKP2B, pemerintah mempunyai wewenang penuh untuk tidak memperpanjang kontrak. Seluruh wilayah kerja tambang yang tadinya dikelola kontraktor harus dikembalikan kepada negara. Negara berkuasa penuh atas WK tambang, yang kemudian berubah menjadi wilayah pencadangan negara (WPN). Pengelolaan lebih lanjut atas WPN diproses melalui tender dan persetujuan DPR. Namun, sesuai amanat konstitusi dan kepentingan strategis negara, dan terutama guna menjamin ketahanan energi nasional, maka sudah seharusnya pengelolaan atas WPN tersebut dilakukan oleh BUMN,” tegas Marwan.

Menurut Marwan, jika wilayah pertambangan yang telah habis kontrak itu dikembalikan kepada negara dan menjadi wilayah pencadangan, maka negara akan mendapat pemasukan keuangan ratusan triliun rupiah, tanpa harus membayar Rp 1 pun. Karenanya Marwan mencurigai bahwa perubahan PP Nomor 23 kali ini sarat dengan indikasi KKN oleh oknum penguasa dan pihak pengusaha.

“Sangat ironis, disaat ingin memiliki 51% saham Freeport, pemerintah bersedia membayar sangat mahal dan berlebihan, hingga US$3,85 miliar. Bagaimana mungkin pemerintah bersikap layaknya sontoloyo melewatkan kesempatan yang sangat besar di depan mata, sambil terlibat aktif merekayasa revisi peraturan dan memfabrikasi kebohongan publik? IRESS sangat yakin bahwa rencana revisi PP No.23/2010 sarat dengan prilaku moral hazard dan dugaan KKN,” ujarnya.

Baca selanjutnya..
Mengabaikan BUMN

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta