Jakarta, Aktual.com – Tahun 2016 telah berlalu dan kita mengawali awal tahun 2017 dengan situasi bangsa dan dunia yang sedang panas. Perkembangan dunia sangat unik dan ‘matematika politik’ sangat sulit untuk dihitung.
Amerika dan Rusia yang biasanya berperang kini bersekutu. Disisi lain kuatnya ekonomi Tiongkok di mata dunia menimbulkan banyak efek bagi berbagai negara dunia. Amerika sekarang berbenah diri memperbaiki kondisi ekonominya. Donald Trump dari kubu Partai Republik memenangkan pemilu di Amerika.
Kejahatan genosida seperti di Suriah, Rohingya, dan beberapa tempat tidak kunjung selesai. Gejolak di Timur Tengah dan pola terorisme transnasional yang acak dan sulit di tebak turut mewarnai.
Setelah naik lebih dari 45% sepanjang tahun 2016, reli harga minyak dijegal apresiasi Dolar AS pada Selasa malam hingga anjlok lebih dari 2 persen. Data minyak mentah AS semakin memperburuk keadaan; memaksa WTI jatuh ke low $52.13 dan Brent $55.33. Namun demikian, Jumat dini hari ini (7/1) harga minyak terpantau berupaya merangkak naik lagi dengan WTI berada pada $54.05 dan Brent pada $57.13.
Survei Reuters yang dipublikasikan hari Kamis lalu (29/12) menunjukkan bahwa para pakar mengharapkan harga minyak naik bertahap ke arah $60 per barel di akhir 2017. Kenaikan lebih lanjut di atas level itu akan dibatasi oleh proyeksi kekuatan Dolar, digenjotnya output minyak AS, serta kemungkinan mangkirnya beberapa negara OPEC dari kuota yang ditetapkan dalam kesepakatan pemangkasan produksi. Sebuah komite yang terdiri dari perwakilan negara OPEC dan Non-OPEC dijadwalkan berjumpa di Wina, Austria, pada 21-22 Januari 2017 untuk mendiskusikan pelaksanaan kesepakatan tersebut.
Badan Pusat Stastistik (BPS) mencatat, laju inflasi di Indonesia Desember 2016 adalah 0,42%. Laju inflasi sepanjang 2016 mencapai 3,02%. Indeks biaya hidup (CPI) bulan desember 2016 +3.70%, lebih tinggi dari Nopember yang +3.58%.
Gross Domestic Product (GDP) pada hari ini (quartal ketiga), sebesar 3,2% mengalami penurunan dibanding quartal kedua (agustus 2016) dengan GDP sebesar 4,02%. Current account menunjukkan angka -4493 juta USD. Penurunan ini menandakan perekonomian bangsa Indonesia mengalami kemunduran.
Kondisi fiskal Indonesia berada pada status gawat. Hal ini berkaitan dengan kebergantungan pemerintah terhadap utang. Meskipun sering terdapat klaim rasio utang terhadap PDB masih aman, di bawah 30 persen, pengukuran tingkat risiko utang terlalu sederhana jika hanya dibandingkan dengan PDB. Lihat misalnya defisit keseimbangan primer atau kemampuan bayar utang dibanding sisi penerimaan, angkanya sangat mengejutkan, yakni Rp 105,5 triliun, atau meningkat dibanding 2014 yang masih Rp 93,3 triliun.
Program pengampunan pajak yang diandalkan untuk menutup lubang penerimaan pun seakan kehilangan momentum. Periode II pelaksanaan Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) telah berakhir pada 31 Desember 2016. Setelah mencatatkan tebusan sebesar Rp 97 triliun pada periode I di akhir September lalu, minat wajib pajak untuk ikut program ini menurun drastis. Sampai akhir Desember 2016, total tambahan tebusan tak mencapai Rp 10 triliun. Target Rp 165 triliun yang digadang-gadang masuk kas negara dari program ini tampaknya masih jauh panggang dari api.
Lantas, jika tidak ada pengampunan pajak pada 2017, dari mana pemerintah bisa menambal lubang defisit anggaran? Jalan pintas yang digunakan tidak lain adalah utang.
Pemerintah juga memberlakukan kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) pelanggan 900 volt sebesar 123,4 persen secara berkala dan juga menaikkan harga BBM nonsubsidi sebesar Rp 300. Sebelumnya pemerintah juga telah menaikkan tarif pengurusan surat-surat kendaraan bermotor sebesar 2-3 kali lipat. Diberbagai komoditi juga mengalami kenaikan harga. Inflasi akan mulai terasa dampaknya bagi rakyat 1 bulan sejak pemberlakuan.
Di bidang politik luar negeri Pemerintahan Indonesia bekerjasama dengan Tiongkok, hingga investasi cina ke Indonesia tembus $8 juta USD dengan kontrak segala aspek pembangunan yang diinvestasi oleh Cina dikerjakan proyeknya oleh Cina. Wajar ketika Cina melakukan pemotongan suku bunga (devaluasi yuan) pada agustus 2015, memukul mata uang rupiah dan komoditas utama di Indonesia. Hal ini menunjukkan lemahnya kekuatan pemerintah di mata dunia.
Cadangan devisa negara terhitung november 2016 sebesar 114,66 Juta USD, suku bunga acuan BI 6,5%. Perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG) hari ini (7/1) sebesar 5.347,020 dan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar 13.505.
Di bidang politik dalam negeri siapa menyangka kubu oposisi pemerintah, yaitu Gerindra ditawari 4 kursi menteri. Hal ini menunjukkan adanya masalah gawat bagi Indonesia sehingga perlu bantuan dari partai oposisi. Fungsi DPR sebagai lembaga legislatif pun sangat lemah.
Mencermati data-data diatas, kita bisa menilai Indonesia mengalami kondisi fiskal yang gawat. Dengan posisi pemasukan kas negara yang lebih kecil daripada pengeluaran, maka tindakan pemerintah secara instan ada 2, menambah hutang luar negeri atau mengambilnya dari rakyat. Hal ini menunjukkan indikasi lemahnya pemerintah (weaked government). Pemerintah juga cenderung tidak seriusa mengelola Indonesia dan fokus pada politik pencitraan.
Maka saya merekomendasikan agar pemerintahan Jokowi-JK untuk bersungguh-sungguh melaksanakan pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan pemilik modal. Pemerintahan Jokowi-JK hendaknya menghentikan sementara berbagai kenaikan harga.
Selain itu, pemerintahan Jokowi-JK harus menguatkan posisinya untuk menarik pajak pengusaha-pengusaha besar yang nakal, tidak membayar pajak dan memarkirkan uangnya di luar negeri. Sumber penerimaan kas negara terbesar adalah pajak. Penting bagi pemerintah untuk menguatkan posisinya.
Selain itu penguatan fungsi DPR sebagai lembaga legislatif harus dilakukan. DPR selama ini dianggap kurang berperan dalam pemerintahan Indonesia dan aspirasinya sering diabaikan oleh eksekutif, bahkan tidak memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi kebijakan.
Jika hal ini dilakukan, Indonesia akan kembali menjadi salah satu negara besar di dunia. Dulu kita adalah bangsa besar. Bayangkan ketika poros dunia terbagi menjadi 2 blok, yaitu blok timur (komunis) dan blok barat (liberalis), Indonesia muncul menjadi poros geopolitik dunia yang baru yaitu gerakan non blok. Kita merindukan masa ketika Indonesia bangkit dan menjadi salah satu kekuatan dunia.
“We don’t need a weakened government but a strong government that would take responsibility for the rights of the individual and care for the society as a whole,” say Vladimir Putin – President of Russian Federation.
Penulis: Andika Indra Purwantoro.
Pendiri Andika Institute dan Tim Ahli Kebijakan Publik KAMMI Wilayah Kalimantan Barat.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka