Kadiv Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar memberikan keterangan kepada wartawan terkait kontak senjata yang diduga menewaskan teroris Santoso di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19/7). Polri menyatakan masih terus melakukan identifikasi untuk memastikan dugaan tewasnya teroris Santoso dalam baku tembak pada Senin (18/7) saat Operasi Tinombala 2016 di Tambarana, Poso. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Residivis kasus terorisme, Juhanda alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia (32) berhasil melancarkan aksi teror di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (13/11). Akibatnya, bayi berusia 2,5 tahun, Intan Olivia Marbun tewas.

Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli menolak kalau pihaknya disalahkan apalagi disebut kecolongan mengenai peristiwa tersebut. Padahal, pelaku berstatus bebas bersyarat dan seharusnya masih dalam pantauan polisi.

“Tidak, tidak bisa ngomong gitu. Bahasa itu tidak pas,” kata Boy di gedung Divisi Humas Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (14/11).

Dia berdalih, serangan yang dilancarkan pelaku teror Bom Buku di Utan Kayu, Jakarta Timur dan peledakan di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Tangerang itu, merencanakan kembali aksinya dengan diam-diam.

Boy Rafli pun keberatan, intelijen Polri gagal dalam memantau narapidana terorisme. “Iya tiba-tiba, tapi kalau jaringan-jaringan ini ada sudah sempat terdeteksi juga. Cuma kalau hari itu memang tiba-tiba,” kilahnya.

Boy Rafli menjelaskan, pihaknya sudah melakukan rehabilitasi deradikalisasi terhadap Jo saat menjalani hukuman selama 3,5 tahun di penjara.

Hal tersebut, klaim Boy, dapat dikonfirmasi kepada pihak Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan (Ditjen Lapas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

“Silakan ditanyakan kepada Ditjen Lapas Kemenkumham, langkah-langkahnya seperti apa. Kami ada sistem sendiri,” terang Mantan Kanit Subden Penindak Densus 88 Antiteror Polri itu.

Jenderal bintang dua ini membenarkan bahwa setelah keluar penjara, narapidana dengan kejahatan tertentu, diawasi polisi. “Kami upayakan melakukan pengawasan terhadap mereka. Tapi setelah keluar mereka menjadi orang bebas,” ujar Boy Rafli.

Hanya saja, pengawasan terhadap narapidana dengan kejahatan tertentu, tidak diberikan perhatian dalam porsi khusus. Menurut Boy, narapidana terorisme kembali diawasi setelah terindikasi berkomunikasi dengan sel-sel radikal.

“Tetapi pada mereka-mereka yang dicurigai itu tetap dilakukan (pengawasan). Terutama mereka yang memiliki aktifitas masih kedapatan melakukan kunjungan dengan jaringan teror. Itu memang ada (pengawasan),” tandas dia.

Fadlan Syiam Butho

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan