Jakarta, Aktual.com — Di dalam Islam terdapat banyak sekali ibadah yang tidak mungkin dilakukan tanpa biaya dan harta. Seperti zakat, infak, sadaqah, wakaf, Haji dan Umrah. Sedangkan, biaya atau harta tidak mungkin diperoleh tanpa proses kerja. Maka bekerja untuk memperoleh harta dalam rangka ibadah kepada Allah SWT menjadi wajib.
Lantas pertanyaannya, bagaimana jika seorang Muslim bekerja di tempat yang kurang baik, yang mana bisa menimbulkan celah kepada diri kita untuk mendapatkan rezeki yang haram?.
“Ada 2 hal yang bisa kita lakukan agar kita bisa terhindar dari hal tersebut yaitu, pertama, tentu saja semakin mendekatkan diri kepada diri-Nya. Yang kedua, tentu saja mencari pekerjaan halal yang lebih baik tentunya,” kata Ustad Hasanudin, kepada Aktual.com, di Jakarta, Senin (14/03).
“Sekarang begini apakah Anda pernah mendengar kawan, atau sanak keluarga bahkan pernah terpikirkan apakah pekerjaan Anda saat ini diridhoi oleh Allah SWT?. Ingat pekerjaan kasar yang mengandalkan otot sama mulianya dengan pekerjaan intelektual, asalkan halal. Dan, tentu saja bekerja jauh lebih baik dibanding mengemis, entah bagaimana pun caranya,” tuturnya menambahkan.
“Saya ingat perkataan dari Syuaib bin Harb dalam kitab al-Hatstsu ‘ala at-Tijarah wa ash-Shina’ah, karya Abu Bakr Al-Khallal beliau berkata, ‘Jangan menyepelekan uang receh (fulus) yang Engkau dapatkan dengan cara menaati Allah SWT di dalamnya. Bukan uang receh itu yang akan digiring (menuju Allah SWT), akan tetapi ketaatanmu. Bisa jadi dengan uang receh itu Engkau membeli sayur-mayur, dan tidaklah ia berdiam di dalam rongga tubuhmu hingga akhirnya dosa-dosamu diampuni,” tambahnya.
“Ada sebuah pesan yang terselip dalam kalimat tersebut yang bisa diambil benang merahnya jika baik buruknya suatu perkerjaan di mata Allah SWT bukanlah dinilai dari besar kecilnya gaji yang diperoleh, akan tetapi dari cara kita melakukannya. Pertanyaan mendasar yang harus dicamkan adalah, ‘Apakah Allah SWT rida’ dengan pekerjaan saya ini ?” Inilah cara berpikir seorang Muslim, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW bukan menuruti logika materialis ateis yang hanya mengedepankan pragmatisme,” katanya lagi.
Ustad Hasanudin menerangkan, bahwa pekerjaan yang terkesan mentereng dan bergaji besar, boleh jadi hanya akan menjadi beban dosa dan kehinaan jika tidak diridhoi Allah SWT.
“Dari waktu ke waktu hanya akan memicu kegersangan, kekacauan, dan berakhir sebagai siksa tak terperikan. Semakin digeluti semakin menggelisahkan, sebab dosa-dosanya semakin menumpuk. Dalam tafsir Zaadul Masir dikatakan bahwa pekerjaan yang haram adalah bagian dari siksa Allah SWT, yaitu “kehidupan yang sempit” sebagai akibat dari kelalaian, keberpalingan, dan meninggalkan tuntunan Allah SWT.”
Allah SWT berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
Artinya, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya bisa melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (Ta-ha : 124-126).
Dengan kata lain, menurut ia, dalam Islam, kehidupan yang lapang, pertama-tama bukan diukur dari lapangnya materi namun dari aspek keselarasan kehidupan itu dengan tuntunan Allah SWT.
“Baru setelahnya, aspek-aspek lain mengikuti. Entah melarat atau kaya raya, jika kehidupan seseorang tidak sejalan dengan syariat, maka layak disebut sebagai ‘kehidupan yang sempit’. Sama juga, apakah fakir atau serba berkecukupan, kehidupan yang mengikuti aturan Allah SWT adalah ‘kehidupan yang lapang’,” tuturnya menutup pembicaraan.
Artikel ini ditulis oleh: