Jakarta, Aktual.com – Tidak ada hujan tidak angin, tiba-tiba saja dengan gagah berani Bank Indonesia (BI) dan pemerintah menyatakan akan memberlakukan kebijakan rednominasi rupiah. Dengan redenominasi ini, kelak akan diterbitkan mata uang rupiah baru dengan penghapusan angka tiga nol. Dengan begitu, mata uang Rp1.000 saat ini akan diganti dengan Rp1 mata uang baru.

BI dan pemerintah mengklaim kebijakan redenominasi sangat banyak manfaatnya dan tidak sama dengan “pemotongan uang” (sanering). Sayangnya, pernyataan gagah berani tersebut tidak didukung oleh argumen-argumen yang jelas dan empirik tentang manfaat dari redenominasi.

Untuk rakyat biasa, redenominasi adalah istilah baru yang membingungkan. Dalam praktiknya, istilah itu nyaris sama dengan upaya pemotongan uang. Menerbitkan uang baru Rp 1 yang nilainya sama dengan Rp1.000 saat ini, pada praktiknya merupakan “paksaan inflasi” (force inflation). Karena daya beli golongan menengah ke bawah akan terpotong dengan adanya kenaikan harga-harga setelah mata uang baru diterbitkan.

Misalnya, untuk sebungkus kacang goreng seharga Rp800 saat ini, kelak dengan uang baru harganya akan disesuaikan menjadi Rp 1 baru yang ini sama saja artinya menaikkan harganya sebesar Rp 200 mata uang sekarang. “Inflasi yang dipaksakan” inilah yang akan terjadi serentak setelah pemberlakuan redenominasi.

Untuk golongan menengah atas, rupiah baru memang lebih nyaman. Mereka bisa membawa uang tunai Rp10 juta saat ini, menjadi hanya Rp10.000 uang baru atau hanya 10 lembar pecahan Rp1.000 baru. Pertanyaannya, berapa persen orang Indonesia yang di kantongnya ada uang tunai Rp10 juta per hari? Persentasenya sangat kecil, kurang dari 0,5% dari penduduk Indonesia.

Kok bisa merancang kebijakan baru hanya untuk menyenangkan 0,5% orang paling kaya di Indonesia? Sementara pada saat yang sama, kebijakan itu justru akan menguras daya beli mayoritas rakyat Indonesia. Jangan-jangan, kebijakan ini justru semakin mempermudah penyogokan para pejabat. Jika sebelum redenominasi perlu boks bekas durian untuk menyogok pejabat miliaran rupiah, nanti cukup menggunakan amplop kecil.

Biasanya, pemotongan uang atau sanering atau redenominasi dilakukan ketika inflasi di satu negara sangat tinggi (hyper inflation) dan ekonomi sedang dalam krisis. Dalam kasus seperti itu, pemotongan uang terpaksa dilakukan untuk stabilisasi ekonomi.

Banyak negara di Amerika Latin melakukan pemotongan uang dengan tujuan seperti itu. Termasuk, Indonesia pada 1966 ketika inflasi mencapai di atas 1.000% sehingga pemerintah terpaksa memotong uang dari Rp1.000 uang lama menjadi Rp1.000 uang baru.

Saat ini ekonomi Indonesia stabil, inflasi terkendali, lah kok ujug-ujug mau “memotong uang”? Sulit dipahami Bank Indonesia (BI) dan pemerintah ngotot mau “memotong uang” yang kalau tidak hati-hati bisa menjadi sumber ketidakstabilan baru, sementara manfaatnya tidak jelas.

Padahal BI punya tugas yang jauh lebih penting, yaitu menurunkan net interest margin (selisih bunga kredit dan simpanan) yang kini paling tinggi di dunia (6-7%) sehingga mengurangi daya saing produk Indonesia.

Bisa jadi rencana kebijakan redenominasi itu dilatarbelakangi keinginan penguasa untuk memberi kesan bahwa mata uang rupiah kuat. Ini dimaksudkan untuk menjadikannya sebagai indikator keberhasilan ekonomi saat ini. Keinginan untuk memiliki mata uang kuat tersebut sebetulnya salah kaprah. Karena yang penting sebenarnya adalah stabilitas mata uang.

Justru negara-negara yang berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dan industrinya, dengan sengaja memilih kebijakan mata uang lemah (weak exchange rate policy). Contohnya, Jepang pada tahun 1950an-1970 yang berhasil tumbuh di atas 10%, atau China pada akhir tahun 1980an-2010 yang juga berhasil tumbuh double digit. Kebijakan mata uang lemah secara tidak langsung melindungi ekonomi dalam negeri dan meningkatkan daya saing produk ekspor mereka.

Negara-negara yang berhasil memacu ekonominya tumbuh tinggi dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, menolak tekanan internasnional untuk memperkuat mata uangnya. Contohnya China yang tetap menolak mentah-mentah menaikkan nilai tukar yuan, kendati tiga Presiden Amerika sejak Clinton, Bush, dan Obama datang ke Beijing untuk menekan negara Tirai Bambu itu.

Sebaliknya, Jepang akhirnya menyerah dan setuju menaikkan nilai tukar yen sesuai dengan kesepakatan Plaza Accord di New York tahun 1986, setelah mendapat tekanan kuat dari Amerika dan Eropa yang khawatir produknya kalah bersaing.

Sejak itu, ekonomi Jepang berubah dari ekonomi tumbuh tinggi (di atas 10%) menjadi ekonomi tumbuh rendah (kurang dari 2%). Jelas sekali peranan penting kebijakan mata uang lemah (weak exchange rate policy) dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.

Negara-negara dengan pertumbuhan tinggi tersebut tidak perlu menggunakan kebijakan pemotongan uang atau redenominasi. Mata uang mereka otomatis akan menguat dengan sendirinya, seiring kemajuan ekonomi mereka.

Seperti terlihat pada grafik di bawah ini nilai tukar yen terhadap dolar Amerika (sekitar 350 yen/US$) pada 1950 terus menguat menjadi sekitar 70 yen/US$ tahun 2010. Proses penguatan mata uang yen tersebut berlangsung secara alamiah tanpa perlu kebijakan potong-memotong ala BI dan pemerintah Indonesia yang bersifat semu (artificial) dan hanya merugikan golongan menengah bawah.

Sehubungan dengan itu, kami meminta agar Bank Indonesia dan pemerintah segera menghentikan rencana kebijakan redenominasi yang tidak ada urgensinya, tidak bermanfaat, dan merugikan daya beli mayoritas rakyat Indonesia.

Kebijakan untuk memperkuat nilai tukar rupiah secara semu adalah salah kaprah dan hanya akan menimbulkan gejolak yang tidak perlu.

Seandainya BI dan pemerintah ngotot memaksakan kebijakan redenominasi, akan timbul pertanyaan tentang kemungkinan adanya konflik kepentingan pejabat BI dengan pemasok kertas khusus untuk uang rupiah baru (fine papers).

Kami sarankan Bank Indonesia untuk fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga stabilitas moneter dan menurunkan net interest margin yang tertinggi di dunia, dan selama ini gagal dilakukan oleh Bank Indonesia.

Pemerintah juga sebaiknya fokus pada percepatan pembangunan infrastruktur, yang hanya menjadi dongeng selama delapan tahun terakhir, dan fokus pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Oleh: DR. Rizal Ramli

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan